GEMBLOG, Makassar - Hubungan antara Kerajaan Bima di Nusa Tenggara Barat dan kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan, terutama Gowa dan Wajo, tidak hanya terjalin melalui jalur perdagangan dan diplomasi, tetapi juga melalui ikatan genealogis yang kuat. Sejumlah sumber sejarah, baik naskah lokal, lontara Bugis, maupun catatan Belanda menunjukkan bahwa setelah abad ke-17, para raja Bima banyak yang berdarah Bugis-Makassar, menandai fase penting dalam proses Islamisasi dan pembentukan identitas politik di kawasan timur Nusantara.
Menurut sejarawan H. Ismail Ahmad (1986) dalam Kerajaan Islam Bima, masa pemerintahan Sultan Abdul Kahir (1620–1640) menandai awal masuknya Islam secara resmi ke istana Bima. Proses ini terjadi dalam konteks yang lebih luas dari ekspansi politik dan budaya Gowa-Tallo, dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan yang menjadi motor penyebaran Islam di Indonesia timur.
Hubungan ini tidak semata religius, melainkan juga kekerabatan dan politik. Dalam Lontara Attoriolong ri Wajo, disebutkan adanya pernikahan lintas kerajaan antara bangsawan Bima dan keluarga aristokrat dari Wajo dan Gowa. Aliansi ini memperkuat posisi Bima sebagai kerajaan Islam yang berorientasi ke timur, tetapi memiliki akar budaya dan politik yang kuat ke barat, ke jazirah Sulawesi.
Catatan VOC dan arsip Belanda (KITLV Leiden) menunjukkan bahwa banyak pejabat tinggi dan penasihat istana Bima pada abad ke-17–18 memiliki nama dan gelar Bugis, seperti Daeng Matowa, La Tenri Ruwa, atau Arung Matoa. Para bangsawan Bugis ini dikenal membawa tradisi administrasi dan etika politik yang khas: loyalitas tinggi, kecakapan berdiplomasi, serta semangat merantau (massompe’) yang menjadi ciri masyarakat Bugis.
Peneliti Christian Pelras (1996) dalam The Bugis juga mengonfirmasi bahwa diaspora Bugis-Makassar pada masa itu bukan hanya akibat konflik atau kekalahan perang, tetapi juga karena kebijakan perkawinan politik yang dilakukan oleh para raja untuk memperluas pengaruhnya. Dalam konteks Bima, percampuran darah ini memperkaya struktur sosial dan memperkuat legitimasi raja-raja berikutnya.
Sebagaimana dijelaskan Anthony Reid (1988) dalam Southeast Asia in the Age of Commerce, abad ke-17 hingga 18 merupakan masa di mana jaringan perdagangan dan pelayaran Nusantara terhubung sangat erat. Dalam jaringan itu, orang-orang Bugis dan Makassar memainkan peran sentral sebagai pelaut, pedagang, sekaligus perantara diplomatik.
Bima menjadi salah satu simpul penting dalam jalur tersebut. Letaknya yang strategis di jalur perdagangan antara Makassar–Lombok–Maluku menjadikannya pelabuhan transit bagi kapal-kapal Bugis. Hubungan dagang ini kemudian berkembang menjadi pertukaran budaya dan politik, bahkan menjadi dasar pembentukan ikatan kekerabatan antar-kerajaan.
Pengaruh Bugis-Makassar tidak hanya berhenti di istana. Dalam bahasa, adat, dan sistem gelar bangsawan, jejak itu masih jelas terlihat. Banyak istilah kehormatan seperti Ompu, La Ode, dan Daeng masih digunakan di kalangan keluarga istana dan masyarakat Bima. Nilai-nilai siri’ (harga diri) dan pesse (empati sosial) yang menjadi fondasi etika Bugis-Makassar juga berasimilasi dalam karakter sosial masyarakat Bima yang menjunjung tinggi kehormatan dan solidaritas.
Keterhubungan antara Bima dan kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa sejarah Nusantara tidak pernah berdiri terpisah-pisah. Laut bukanlah pembatas, melainkan jembatan yang menghubungkan darah, budaya, dan kepercayaan. Dari pelabuhan Sape hingga pesisir Makassar, dari istana Wajo hingga keraton Bima, mengalir satu jejak genealogis yang menegaskan: Bima bukan sekadar kerajaan di ujung timur, tetapi juga bagian dari mozaik besar dunia Bugis-Makassar. (TIM/Red)
Sumber Primer dan Naskah Lokal dari Tulisan:
1. Bo’ Sangaji Kai (Kronik Kesultanan Bima) - Naskah sejarah lokal Bima yang merekam silsilah dan hubungan politik dengan kerajaan luar, termasuk Gowa dan Wajo.
Disimpan di Arsip Kesultanan Bima dan pernah dikaji oleh peneliti filologi Indonesia.
2. Lontara Bugis “Attoriolong ri Wajo” - Kronik Wajo yang menyinggung hubungan diplomatik dan perkawinan politik antara bangsawan Bugis dan keluarga istana Bima.
Beberapa salinan disimpan di Perpustakaan Nasional RI dan koleksi pribadi tokoh Bugis.
3. Catatan VOC dan Arsip KITLV Leiden - Arsip Belanda abad ke-17–19 mencatat aktivitas perdagangan dan hubungan diplomatik antara Gowa, Wajo, dan Bima, termasuk migrasi bangsawan Bugis pasca-perang Makassar (1667–1669).
4. H. Ismail Ahmad. (1986). Kerajaan Islam Bima.
Buku ini mengulas transformasi Bima dari kerajaan Hindu menjadi Islam serta hubungan politik dan genealogisnya dengan bangsawan Bugis-Makassar.
5. Christian Pelras. (1996). The Bugis. Blackwell Publishing.
Menjelaskan diaspora Bugis ke wilayah timur Nusantara, termasuk peran mereka dalam politik Kesultanan Bima dan kerajaan-kerajaan di Nusa Tenggara.
6. Anthony Reid. (1988). Southeast Asia in the Age of Commerce. Yale University Press.
Menyajikan konteks perdagangan dan migrasi antar-kerajaan di Asia Tenggara yang memperkuat jaringan hubungan Bugis, Makassar, dan Bima.
7. Abd. Rahman Rahim. (1992). Kerajaan Tradisional Sulawesi Selatan.
Diterbitkan oleh Depdikbud, buku ini menjelaskan jaringan politik Gowa, Bone, dan Wajo, serta ekspansi pengaruh Bugis-Makassar hingga ke Nusa Tenggara.
8. Patji, Abdul Rahim. (2003). Sejarah Kesultanan Bima dan Peranannya di Nusantara Timur.
Menelusuri hubungan genealogis antara Sultan Bima dengan bangsawan Sulawesi Selatan.
9. Jurnal Wacana Etnik dan Budaya (Balai Arkeologi Makassar, edisi 2015) – membahas migrasi Bugis ke NTB pasca-Perang Makassar.
10. Arsip digital Leiden University Libraries (KITLV Collections) – tersedia dokumen digitalisasi catatan kolonial VOC tentang Bima dan Gowa.
11. Artikel di situs tebuireng.online, nu.or.id, dan suaranahdliyin.com yang membahas hubungan sejarah Islamisasi di wilayah timur Indonesia oleh ulama Bugis.
.png)
0 Komentar