Ticker

Ad Code

Suara Rintihan dari Pinggir Sungai Bua: Pedagang Kecil Menanti Kebijakan yang Berhati Nurani

GEMBLOG, Luwu - Di bawah terik matahari yang memantul di permukaan sungai Bua, suara palu dan kayu yang beradu mulai terdengar. Sebagian pedagang tampak menurunkan papan-papan lapaknya sendiri. Ada yang menatap kosong, ada pula yang menahan air mata. Mereka bukan sedang pindah dagang, melainkan bersiap kehilangan tempat mencari nafkah.

Sejak Pemerintah Kelurahan Sakti, Kecamatan Bua, Kabupaten Luwu, mengeluarkan surat pemberitahuan penertiban lapak di sepanjang pinggir sungai dan kawasan pasar, suasana hati para pedagang berubah muram. Surat bernomor 021/SP/KS/X/2025 itu memberi tenggat waktu hingga 7 Oktober 2025 agar seluruh lapak dibongkar secara mandiri, atau akan ditertibkan langsung oleh pemerintah.

Bagi sebagian pedagang kecil, surat itu bukan sekadar selembar kertas berstempel resmi. Ia terasa seperti surat perpisahan dari ruang hidup yang telah mereka rawat bertahun-tahun.

“Kami Tak Menolak, Tapi Jangan Biarkan Kami Menganggur”

Di sudut pasar, seorang ibu paruh baya duduk bersandar pada tumpukan peti jualannya. Ia menatap lapak sederhana dari kayu yang mulai lapuk. “Kami tidak menolak aturan, tapi kami juga butuh tempat untuk tetap bisa berjualan. Kalau dibongkar, semoga ada lokasi baru yang disiapkan,” ujarnya lirih, enggan disebut namanya, Rabu (8/10/2025).

Di seberangnya, seorang pedagang gorengan menghela napas panjang. “Kami ini cuma cari makan, bukan mau melawan pemerintah. Tapi kalau digusur tanpa arah, mau ke mana kami?” katanya, sembari mengemasi barang dagangannya yang tersisa.

Suara-suara seperti ini menggema di antara para pedagang lain yang masih menunggu kepastian. Mereka memahami pentingnya penataan wilayah, namun berharap kebijakan itu disertai dengan nurani.

Bukan penertiban yang mereka takutkan, melainkan cara dan akibatnya. Beberapa pedagang berharap agar pembongkaran dilakukan dengan pendekatan humanis, bukan dengan cara-cara yang menimbulkan ketegangan antara warga dan aparat pemerintah.

“Kami cuma ingin dihargai sebagai warga yang juga ikut membangun ekonomi di sini. Kalau lapak kami dianggap mengganggu, tolong sediakan tempat baru. Jangan langsung dirobohkan,” tutur salah satu pedagang sayur yang kini khawatir kehilangan pelanggan tetapnya.

Di sisi lain, pihak Kelurahan Sakti menyatakan langkah ini diambil untuk menegakkan Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Nomor 54 Tahun 2021 tentang Penertiban Pedagang, demi menciptakan pasar yang tertib, aman, dan bersih. Pemerintah mengaku telah melakukan rapat koordinasi dengan perwakilan pedagang sebelum surat resmi diterbitkan.

Namun, di lapangan, dilema tetap terasa. Penataan ruang publik memang penting, tapi di balik setiap lapak ada cerita perjuangan keluarga. Ada anak-anak yang disekolahkan dari hasil jualan di tepi sungai, ada dapur yang bergantung pada dagangan sayur dan gorengan setiap pagi.

Beberapa pengamat sosial politik di kota Palopo, menilai bahwa penegakan peraturan daerah tidak boleh hanya berbasis pada kepatuhan hukum semata, tetapi juga harus mempertimbangkan dimensi kemanusiaan.

“Pemerintah benar menjalankan Perda, tapi jangan lupakan sisi sosialnya. Pedagang kecil tidak menolak aturan, mereka hanya minta diberi kesempatan untuk tetap hidup dengan layak,” ujarnya.

Hari-hari mendatang akan menjadi ujian bagi Pemerintah Kelurahan Sakti: apakah kebijakan penataan ini akan menjadi langkah menuju keteraturan, atau justru menambah deretan kisah kehilangan bagi warga kecil di pinggir sungai Bua.

Di antara suara riuh pasar yang perlahan meredup, tersisa satu harapan sederhana dari para pedagang: “Jangan hanya menertibkan lapak kami, tapi juga tolong jaga kehidupan kami.” (Red)


Posting Komentar

0 Komentar