GEMBLOG, New York – Sidang terakhir Komite Keempat Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi panggung bagi gelombang dukungan internasional terhadap posisi Maroko dalam isu Sahara Barat. Dalam forum penting yang membahas dekolonisasi dan hak penentuan nasib sendiri itu, berbagai suara dari kalangan pakar, aktivis hak asasi manusia, dan jurnalis dunia menegaskan legitimasi historis serta politik Kerajaan Maroko atas provinsi-provinsi selatannya, sekaligus mengecam keras pelanggaran berat yang dilakukan oleh Front Polisario di kamp Tindouf, Aljazair.
Salah satu suara paling menggugah datang dari Abdelbasset Sayed, Presiden World Humanitarian Drive. Dalam kesaksiannya yang emosional, Sayed menyoroti penderitaan panjang rakyat Sahrawi yang hidup di bawah kekuasaan Front Polisario selama lebih dari setengah abad.
“Selama lebih dari lima puluh tahun, rakyat Sahrawi kehilangan hak asasi manusia mereka yang paling mendasar: mereka tidak memiliki rumah, listrik, air minum, perawatan medis, ataupun pendidikan berkualitas. Hati nurani kita seharusnya terguncang oleh kenyataan tragis ini,” ujar Sayed di hadapan delegasi PBB.
Ia menegaskan bahwa Polisario telah kehilangan legitimasi moral dan politik untuk mewakili rakyat Sahrawi. Menurutnya, sebagian besar masyarakat kini telah mengidentifikasi diri sebagai warga negara Maroko yang bangga.
“Jalan militer mereka telah berakhir. Warga Sahrawi tidak lagi percaya pada kekerasan dan ekstremisme. Mereka ingin masa depan yang damai di bawah payung kedaulatan Maroko,” tambahnya.
Suara dukungan juga datang dari Anna Rios, pakar urusan publik Uni Eropa, yang menyoroti visi strategis Raja Mohammed VI melalui Royal Atlantic Initiative. Ia menyebut inisiatif tersebut sebagai tonggak penting bagi kerja sama Selatan-Selatan serta integrasi pembangunan di Afrika.
“Inisiatif ini mencerminkan visi jauh ke depan untuk menciptakan stabilitas dan kemakmuran di kawasan. Maroko menunjukkan peran nyata sebagai aktor yang bertanggung jawab dan visioner dalam membangun Afrika yang bersatu dan berdaulat,” ujar Rios.
Sementara itu, Wilson Lalengke, jurnalis dan aktivis kebebasan pers asal Indonesia, tampil tegas dalam menyuarakan keprihatinan kemanusiaan. Ia mengecam keras pelanggaran berat yang dilakukan oleh Front Polisario terhadap para tahanan dan warga sipil di kamp Tindouf.
“Eksekusi di luar hukum, penghilangan paksa, serta berbagai bentuk penganiayaan di kamp-kamp tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. PBB dan komunitas internasional tidak boleh menutup mata,” tegas Lalengke.
Lalengke juga menyerukan agar mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan tersebut diadili secara internasional. Ia menilai bahwa inisiatif otonomi di bawah kedaulatan Maroko adalah satu-satunya solusi realistis dan manusiawi bagi rakyat Sahrawi, apalagi setelah dukungan terhadap rencana tersebut terus meningkat di berbagai belahan dunia.
Sidang petisi Komite Keempat ini menandai babak penting dalam perjuangan diplomatik Maroko. Dukungan moral dan politik dari berbagai tokoh global menunjukkan pergeseran opini internasional menuju pengakuan atas legitimasi Maroko di Sahara Barat. Lebih dari sekadar isu politik, pertemuan ini menegaskan satu pesan universal: kemanusiaan tidak boleh dikorbankan atas nama ideologi dan kekuasaan. (Red)


0 Komentar