GEMBLOG, Jakarta - Bayangan utang raksasa kembali membayangi proyek kebanggaan nasional, Kereta Cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh. Pemerintah Indonesia kini tengah membuka meja perundingan dengan Tiongkok untuk membahas restrukturisasi utang sebesar USD 7,3 miliar, atau sekitar Rp116 triliun, yang menumpuk sejak proyek dimulai hampir satu dekade lalu.
Langkah diplomatik ini dikonfirmasi langsung oleh Menteri Investasi Rosan Roeslani, yang menyebut bahwa pembicaraan dengan pemerintah Tiongkok telah resmi dimulai.
“Kami menginginkan reformasi yang menyeluruh, agar setelah restrukturisasi nanti tidak lagi muncul hal-hal seperti kemungkinan gagal bayar di masa depan,” ujar Rosan dalam keterangan yang dikutip melalui media Reuters pada Rabu (8/10).
Proyek Whoosh sejatinya diluncurkan pada 2016 sebagai simbol kemajuan infrastruktur di era Presiden Joko Widodo, dengan janji memperpendek waktu tempuh Jakarta - Bandung menjadi hanya 36 menit. Namun perjalanan proyek ini jauh dari mulus.
Awalnya dirancang beroperasi pada 2019, proyek tersebut terhambat oleh masalah pembebasan lahan, pandemi COVID-19, dan pembengkakan biaya yang menelan tambahan hampir USD 1,2 miliar. Setelah serangkaian penundaan, Whoosh baru resmi beroperasi pada Oktober 2023.
Kini, tagihan pinjaman dari China Development Bank (CDB) dan beban bunga tahunan sekitar Rp2 triliun menjadi persoalan serius bagi konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) — gabungan BUMN Indonesia melalui PT KAI dan mitra Tiongkok, China Railway International Co. Ltd.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa utang proyek Whoosh bukan tanggungan langsung APBN, melainkan utang korporasi KCIC dan anak usaha KAI, PT PSBI.
“Tidak ada dana APBN yang akan digunakan untuk membayar utang Whoosh. Pemerintah hanya mengawasi agar restrukturisasi berjalan sehat,” tegasnya.
Namun para ekonom memperingatkan adanya risiko fiskal terselubung, karena PT KAI merupakan BUMN strategis yang modalnya berasal dari negara. Jika proyek terus merugi, pemerintah bisa saja dipaksa turun tangan melalui skema penyelamatan (bailout) atau jaminan utang tidak langsung.
Data menunjukkan PSBI mencatat kerugian Rp4,19 triliun pada 2024 dan Rp1,62 triliun pada semester pertama 2025 akibat beban proyek Whoosh. Jumlah penumpang pun belum mencapai target optimistis 76.000 orang per hari, sementara biaya operasi tetap tinggi.
Pemerintah kini menyiapkan beberapa langkah penyelamatan:
1. Restrukturisasi utang dengan CDB, agar tenor dan bunga pinjaman bisa diperpanjang atau disesuaikan dengan pendapatan proyek.
2. Penambahan modal dari pemegang saham melalui super holding Danantara Indonesia, yang memiliki potensi dividen BUMN hingga Rp80 triliun per tahun.
3. Skema pengelolaan aset baru, seperti mengalihkan sebagian infrastruktur menjadi aset layanan publik agar dapat dibiayai dengan mekanisme non-APBN.
Langkah ini disebut sebagai “jalan tengah” antara menjaga kredibilitas finansial BUMN dan memastikan proyek tetap beroperasi tanpa membebani rakyat.
Pembicaraan restrukturisasi dengan Tiongkok memiliki makna lebih besar dari sekadar keuangan. Bagi Indonesia, ini juga menjadi ujian hubungan bilateral strategis dalam kerangka Belt and Road Initiative (BRI).
Beberapa pengamat menyebut restrukturisasi ini sebagai momen krusial untuk menegosiasikan ulang kesepakatan yang dianggap terlalu berat di awal proyek.
“Jika pemerintah berhasil menegosiasikan bunga dan tenor pinjaman dengan lebih ringan, ini bisa menjadi preseden positif bagi proyek-proyek infrastruktur lain di masa depan,” kata pengamat ekonomi Bhima Yudhistira dari CELIOS.
Meski beroperasi penuh dan menjadi simbol kemajuan teknologi transportasi nasional, proyek Whoosh kini menghadapi tantangan besar: bagaimana membuat kereta cepat tetap berjalan cepat - tanpa mempercepat beban fiskal negara.
Di atas rel sepanjang 142 kilometer itu, bukan hanya kereta yang melaju. Di sana juga berlari taruhan besar Indonesia terhadap kredibilitas ekonomi, diplomasi, dan tata kelola BUMN-nya sendiri. (Red)
Sumber: Dikutip dari beberapa rangkuman berita Reuters, Antara, Liputan6, Pikiran Rakyat, CNA Indonesia

0 Komentar