GEMBLOG, Medan - Pertanyaan lama kembali menggema di ruang publik: ada apa dengan aparat penegak hukum di Indonesia?
Pertanyaan itu menemukan relevansinya setelah muncul surat resmi dari Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumatera Utara yang secara mengejutkan menghentikan penyelidikan dugaan tindak pidana administrasi kependudukan atas nama Sihar Pangihutan Hamonangan Sitorus alias Sihar Sitorus.
Surat bernomor B/615/IX/RES.1.24/2025/Ditreskrimsus tertanggal September 2025 itu ditujukan kepada pelapor Legiman Pranata, yang sebelumnya mengadukan dugaan penggunaan dua identitas kependudukan berbeda oleh orang yang sama.
Namun hasilnya mencengangkan: penyelidikan dihentikan dengan alasan “bukan merupakan tindak pidana.”
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, setiap warga negara hanya boleh memiliki satu Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Pelanggaran terhadap prinsip tunggal ini merupakan bentuk manipulasi data kependudukan yang dalam hukum, bisa dikategorikan sebagai tindak pidana administrasi.
Kasus ini bukan semata menyangkut nama Sihar Sitorus. Ia adalah cermin retak dari integritas sistem kependudukan nasional.
Jika seorang warga bisa memiliki dua identitas berbeda, dan laporan resminya justru dihentikan tanpa kejelasan, maka publik wajar bertanya:
di mana negara dalam menjaga integritas hukum administratifnya sendiri?
Pelapor Legiman Pranata telah menempuh jalur hukum yang sah dari pelaporan di Polda Sumut, hingga upaya advokasi ke Mabes Polri dan Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, Selasa (14/10/2025).
Namun perjalanan hukum itu berujung buntu.
Keadilan berhenti di meja surat, dan aparat seolah memilih jalan sunyi dengan alasan administratif.
“Bukan Tindak Pidana”: Kalimat yang Membunuh Akal Sehat
Penghentian penyelidikan dengan frasa “bukan tindak pidana” bukan sekadar keputusan formal, tetapi juga indikasi lemahnya pemahaman aparat terhadap substansi hukum administrasi.
Apakah aparat benar-benar memahami konteks pelanggaran kependudukan — atau ada kekuatan tak kasat mata yang menahan keberanian mereka menegakkan hukum?
Fenomena semacam ini menambah panjang daftar kasus berhenti di tengah jalan, di mana hukum administratif kehilangan daya gigitnya.
Aparat lebih memilih berhenti pada bentuk, bukan pada substansi.
Padahal, hukum sejatinya bukan hanya teks di atas kertas — melainkan napas keadilan yang harus dihidupkan dengan keberanian moral.
Sejumlah pakar hukum administrasi menilai penghentian penyelidikan kasus ini sebagai kelalaian institusional yang berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap sistem kependudukan nasional.
“UU Nomor 24 Tahun 2013 bukan sekadar simbol. Jika ditemukan dua NIK dengan identitas yang sama, itu cacat sistem. Harus ada audit forensik data, bukan sekadar SP2HP dingin tanpa transparansi,”
ujar seorang akademisi hukum administrasi publik.
Sementara itu, aktivis Transparansi Hukum Nasional menilai kasus ini memperlihatkan pola lama: tumpul ke atas, tajam ke bawah.
“Kalau pelakunya rakyat kecil, pasti ditindak cepat. Tapi kalau punya jaringan, posisi, atau akses kekuasaan, hukum tiba-tiba kehilangan taring. Inilah potret nyata ketimpangan hukum di Indonesia,” tegasnya.
Kasus Sihar Sitorus menjadi simbol konkret absennya negara dalam menjaga integritas identitas warganya.
Dan di sinilah peran media dan jurnalis independen menjadi garda terakhir kebenaran.
Melalui publikasi dan advokasi berbasis dokumen resmi seperti SP2HP Polda Sumut, publik berhak mengetahui bahwa sistem hukum administrasi kita masih bisa dilumpuhkan oleh diamnya aparat.
Karena ketika laporan warga tidak lagi ditindaklanjuti, dan aparat hanya sibuk mencari alasan administratif untuk menutup perkara, maka yang mati bukan sekadar kasus, melainkan fungsi negara hukum itu sendiri.
Jika hukum bisa diabaikan hanya karena seseorang memiliki pengaruh atau jaringan kekuasaan, maka keadilan telah kehilangan maknanya.
Dan bila lembaga hukum memilih diam, maka masyarakat sipil, Ombudsman, dan Komnas HAM wajib bersuara.
Keadilan tidak lahir dari diamnya negara, tetapi dari keberanian warga dan media untuk terus menagihnya.
Dan selama kebenaran masih ditutup dengan alasan administratif, tugas jurnalisme belum selesai.
Karena ketika hukum tunduk pada kekuasaan, maka republik ini sedang berjalan tanpa kompas keadilan. (TIM/Red)



0 Komentar