_Oleh: Muh. Ukub_
GEMBLOG, Morowali - Hutan sering disebut sebagai paru-paru dunia sebagai sumber oksigen, penyangga kehidupan, dan penjaga keseimbangan ekosistem bumi. Namun, di luar Pulau Jawa, luasnya kawasan hutan ternyata belum menjadi jaminan bagi kesejahteraan masyarakat yang hidup di sekitarnya.
Jika kita menengok peta sebaran hutan Indonesia, wilayah seperti Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, hingga Papua masih menyimpan bentangan kawasan hutan yang begitu luas. Ironisnya, di daerah-daerah inilah masyarakat justru menghadapi kesulitan untuk mendapatkan akses lahan, baik untuk tempat tinggal maupun untuk bercocok tanam.
Pada era 1970-an, jumlah penduduk Indonesia masih relatif kecil. Kini, di tahun 2025, populasi penduduk meningkat hingga sekitar 70 persen. Sayangnya, perluasan kawasan berstatus hutan juga terus bertambah, sementara Areal Penggunaan Lain (APL) yang dapat dimanfaatkan untuk permukiman dan pertanian justru makin menyempit. Akibatnya, masyarakat di luar Jawa kerap kesulitan membuka lahan baru untuk pertanian dan perkebunan, meski mereka hidup di tanah yang subur dan kaya sumber daya alam.
Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Sudah semestinya negara memberikan ruang yang cukup bagi rakyatnya untuk mengolah tanah dan bertani. Jika kondisi ini terus dibiarkan, status “negara agraris” hanya akan menjadi slogan kosong, sementara masyarakat desa kehilangan sumber penghidupan dan dipaksa menjadi buruh migran di negeri orang.
Lebih jauh, terbatasnya akses terhadap lahan juga menimbulkan persoalan sosial yang kompleks. Masyarakat adat dan petani tradisional sering kehilangan lahan garapan akibat tumpang tindihnya status kawasan hutan. Kondisi ini diperburuk dengan kebijakan yang kerap berubah-ubah seolah mengikuti kepentingan investor atau kelompok tertentu, bukan untuk melindungi rakyat kecil.
Masuknya investasi besar, terutama di sektor pertambangan, sempat menimbulkan harapan baru bagi peningkatan ekonomi lokal. Namun faktanya, banyak lokasi tambang justru berada di kawasan hutan lindung. Untuk bisa beroperasi, perusahaan harus mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan, yang prosesnya panjang dan memerlukan biaya besar. Di balik itu, masyarakat sekitar tambang tetap sulit menikmati manfaat ekonomi yang sepadan dengan potensi sumber daya di wilayah mereka.
“Bukan berarti kita menolak investasi,” ujar Muh. Ukub, “yang kita soroti adalah ketimpangan akses dan regulasi yang sering kali tidak berpihak pada masyarakat lokal.”
Hutan memang penting bagi keberlanjutan lingkungan, namun pengelolaannya juga harus mempertimbangkan keseimbangan sosial dan ekonomi masyarakat di sekitarnya. Regulasi kehutanan tidak boleh hanya menekankan aspek pelestarian, tetapi juga harus membuka ruang bagi rakyat untuk hidup layak tanpa harus berhadapan dengan kriminalisasi atau konflik lahan.
Kini saatnya pemerintah meninjau ulang status kawasan hutan, terutama di luar Pulau Jawa. Penataan tata ruang yang lebih adil dan berpihak pada masyarakat lokal sangat dibutuhkan. Sebab, pada akhirnya, tujuan utama dari setiap kebijakan pengelolaan sumber daya alam adalah kesejahteraan rakyat bukan sekadar menjaga hutan di atas kertas, tetapi memastikan manusia yang hidup di sekitarnya juga bisa hidup sejahtera.
Beberapa kutipan data resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) :
"Menurut publikasi KLHK, Indonesia memiliki luas daratan selebar ± 191,36 juta hektar, dan sekitar 62,97% dari daratan tersebut diklasifikasikan sebagai kawasan hutan yaitu sekitar 125,82 juta hektar".
Dalam “Buku Basis Data Geospasial Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2020”, KLHK mencatat bahwa hingga Oktober 2020, luas penutupan lahan di dalam kawasan hutan (hutan tetap, HPK, HPT, HP) mencapai sekitar 80,59 juta hektar; sedangkan total hutan (termasuk di luar kawasan hutan) mencapai sekitar 94,11 juta hektar.
Dari siaran pers KLHK tahun 2025, disebutkan bahwa di tahun 2024 luas lahan berhutan di Indonesia tercatat 95,5 juta hektar, atau setara dengan 51,1% dari total daratan. Dari angka tersebut, sekitar 91,9% (± 87,8 juta ha) berada di dalam kawasan hutan.
Meskipun Indonesia khususnya wilayah di luar Pulau Jawa memiliki kawasan hutan yang sangat luas, namun kenyataan kesejahteraan masyarakat tidak secara otomatis meningkat seiring besarnya kawasan hutan tersebut. (Red)
_Penulis adalah Pemerhati Sosial dari Sulawesi Tenggara (Sultra)_

0 Komentar