GEMBLOG, Palopo — Suasana ruang rapat Sekretaris Daerah Kota Palopo pada Rabu siang terasa tegang. Forum Masyarakat Pemerhati Pelayanan Publik (FMP3) datang mendampingi Arman (39), korban dugaan penyalahgunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK), untuk meminta klarifikasi dan pertanggungjawaban dari pihak Bank Mandiri Cabang Palopo.
Audiensi dipimpin oleh Staf Ahli Kesra, M. Taufik, dihadiri pimpinan Bank Mandiri Cabang Palopo Zainal Arifin bersama Manajer Operasional Herlis, jajaran Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), serta perwakilan instansi terkait.
Dalam forum tersebut, Koordinator Lapangan FMP3, Armin, membacakan enam tuntutan tegas kepada pihak bank:
1. Pemblokiran segera rekening bermasalah dan audit forensik digital menyeluruh.
2. Evaluasi transparan terhadap sistem KYC dan CDD Bank Mandiri Palopo.
3. Penegakan tanggung jawab hukum dan etik, termasuk pencopotan kepala cabang bila terbukti lalai.
4. Kompensasi moral dan material serta permintaan maaf resmi kepada korban.
5. Keterlibatan aktif OJK dan aparat penegak hukum untuk penyelesaian terbuka dan adil.
6. Tindakan proaktif Wali Kota Palopo melindungi warga dari penyalahgunaan data.
“Kami meminta Bank Mandiri bertanggung jawab penuh dan memberikan jaminan tertulis agar data korban tidak kembali disalahgunakan,” tegas Putra, Jenderal Lapangan FMP3.
Kepala Dinas Dukcapil Palopo, Besse, menegaskan bahwa NIK Arman dan NIK Habrianto Nurdin berbeda dan masing-masing tunggal.
Namun, pernyataan itu berbanding terbalik dengan keterangan awal pihak bank yang sempat menyebut NIK keduanya sama.
Dalam klarifikasinya, Zainal mengungkapkan bahwa hasil pengecekan internal Bank Mandiri menemukan data milik Habrianto Nurdin mulai tercatat sejak 2015 menggunakan NIK Arman. Temuan ini memperkuat dugaan adanya kelalaian dalam verifikasi data nasabah.
Dampak dari kesalahan ini cukup serius. Arman mengaku tidak menerima bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) selama tiga tahun terakhir.
Bahkan, saat hendak membuka rekening di Bank Mandiri Samarinda pada 17 Juni 2025, proses gagal karena sistem mencatat NIK-nya atas nama orang lain. Akibatnya, ia tidak bisa menerima gaji dan terpaksa berutang untuk bertahan hidup, hingga akhirnya pulang ke Palopo.
FMP3 khawatir data korban telah disalahgunakan untuk tujuan serius, termasuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan pendanaan terorisme.
Mengutip dari kajian beberapa para pakar keamanan siber dan hukum perbankan menilai, kejadian ini adalah peringatan keras tentang lemahnya sistem perlindungan data pribadi di sektor perbankan Indonesia, Minggu (10/8/2025).
Pakar keamanan siber Alfons Tanujaya menegaskan bahwa NIK merupakan identitas tunggal yang jika jatuh ke tangan yang salah dapat menjadi pintu masuk ke berbagai bentuk penipuan.
“Begitu NIK terekspos, pelaku bisa membuat akun, mengakses layanan keuangan, bahkan melakukan kejahatan finansial tanpa diketahui pemilik aslinya. Sistem bank wajib dilengkapi validasi berlapis, bukan hanya pencocokan statis,” ujarnya.
Ia juga mendesak penerapan penuh Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan sertifikasi keamanan informasi ISO 27001 di perbankan.
Dari sisi hukum, akademisi hukum perbankan menjelaskan bahwa apabila kelalaian terjadi di pihak bank, maka lembaga tersebut dapat dimintai tanggung jawab melalui wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum.
“Bank memiliki kewajiban hukum menjaga kerahasiaan dan keamanan data nasabah. Jika ada kelalaian, korban berhak menuntut ganti rugi materiil dan immateriil,” tegasnya.
Hal ini diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, aturan OJK, serta prinsip kehati-hatian di sektor jasa keuangan.
Pakar hukum pidana Asep Iwan Irawan menilai kasus ini tidak bisa hanya berhenti pada klarifikasi internal.
“Penyalahgunaan data pribadi adalah tindak pidana. Harus ada penyelidikan yang melibatkan aparat hukum agar pelaku dapat dijerat sesuai Pasal 67 UU No. 27 Tahun 2022,” katanya.
Menurutnya, sanksi tegas diperlukan agar menjadi efek jera bagi pelaku dan peringatan bagi institusi keuangan.
Deputi Gubernur BI Juda Agung mengingatkan bahwa meski digitalisasi mempermudah layanan perbankan, risiko kebocoran data dan fraud masih tinggi.
“Bank harus mengadopsi sistem deteksi dini, verifikasi biometrik, dan audit berkala. Kepercayaan publik adalah modal utama sektor keuangan,” jelasnya.
Para pakar dari analisis beberapa kajian mereka sepakat, kasus Arman menunjukkan bahwa verifikasi identitas berbasis NIK saja tidak cukup. Bank perlu:
- Mengimplementasikan multi-factor authentication untuk pembukaan rekening.
- Memperkuat audit internal dan eksternal.
- Mengedukasi nasabah agar waspada terhadap potensi penyalahgunaan data.
FMP3 yang mendampingi korban menegaskan akan menjadikan pandangan para pakar ini sebagai dasar untuk mendorong langkah hukum dan advokasi publik, termasuk mendesak OJK serta Polres Palopo untuk mempercepat proses penyelidikan.
FMP3 menegaskan akan mengawal kasus ini hingga tuntas, menuntut agar pelaku atau oknum yang bertanggung jawab diproses sesuai Pasal 67 UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Mereka juga menunggu langkah konkret dari Polres Palopo untuk menyelidiki dan menyidik kasus ini secara serius dan transparan. (Red)



0 Komentar