Ticker

Ad Code

Efisiensi Tanpa Ampun: Pemerintahan Prabowo Potong Anggaran dari Alat Tulis hingga Infrastruktur

Pemerintahan Presiden Prabowo Lanjutkan Efisiensi Anggaran Hingga 2026, 15 Pos Belanja Kementerian dan Daerah Dipangkas

GEMBLOG, Jakarta — Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memastikan kebijakan efisiensi anggaran kementerian/lembaga (K/L) dan dana transfer ke daerah (TKD) akan terus berlanjut hingga 2026. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam APBN, yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 5 Agustus 2025.

Langkah ini menjadi sinyal bahwa pemerintah ingin menjaga disiplin fiskal di tengah tantangan ekonomi global, sekaligus mengalokasikan anggaran secara optimal untuk program prioritas nasional.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PMK 56/2025, efisiensi tidak hanya berlaku pada pos anggaran K/L, tetapi juga pada TKD. Hasil penghematan ini akan difokuskan untuk mendukung kegiatan prioritas Presiden Prabowo Subianto, dengan koordinasi langsung oleh Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara.

“Hasil efisiensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) utamanya digunakan untuk kegiatan prioritas presiden yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh menteri keuangan selaku bendahara umum negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 2 ayat (3).

Efisiensi 2026 akan menyasar 15 item belanja K/L, yang mayoritas mencakup pengeluaran rutin dan non-esensial, yakni:

1. Alat tulis kantor,

2. Kegiatan seremonial,

3. Rapat, seminar, dan sejenisnya,

4. Kajian dan analisis,

5. Diklat dan bimbingan teknis,

6. Honor output kegiatan dan jasa profesi,

7. Percetakan dan souvenir,

8. Sewa gedung, kendaraan, dan peralatan,

9. Lisensi aplikasi,

10. Jasa konsultan,

11. Bantuan pemerintah,

12. Pemeliharaan dan perawatan,

13. Perjalanan dinas,

14. Peralatan dan mesin,

15. Infrastruktur.

Daftar ini sama seperti yang berlaku pada efisiensi anggaran 2025 sesuai Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025. Meski begitu, Sri Mulyani belum mengumumkan persentase penghematan yang harus dicapai setiap K/L untuk 2026.

Pasal 3 ayat (5) PMK 56/2025 memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menyesuaikan item belanja yang dihemat berdasarkan arahan Presiden. Besaran efisiensi yang ditetapkan akan disampaikan langsung kepada masing-masing K/L dan sifatnya final, meski tetap mempertimbangkan target penerimaan pajak negara.

Usulan revisi anggaran dari K/L nantinya akan dibahas dengan DPR RI untuk mendapat persetujuan sebelum disampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu. Setelah disetujui, Kemenkeu akan memblokir anggaran tersebut dalam DIPA, membedakan antara pagu efektif dan pagu yang diblokir.

Pasal 13 ayat (2) PMK 56/2025 menjelaskan bahwa anggaran yang diblokir bisa dibuka dalam tiga kondisi, yakni:

- Untuk belanja pegawai, operasional kantor, tugas dan fungsi dasar, serta pelayanan publik.

- Untuk kegiatan prioritas Presiden Prabowo Subianto.

- Untuk kegiatan yang menambah penerimaan negara.

Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintahan Prabowo berkomitmen menjaga pengelolaan keuangan negara tetap efisien dan terukur. Dengan mengalihkan dana dari pengeluaran non-esensial ke program strategis, pemerintah berharap pembangunan nasional dapat berjalan lebih fokus, efektif, dan memberi manfaat langsung bagi masyarakat.

Efisiensi anggaran yang konsisten hingga 2026 juga diharapkan mampu memberi ruang fiskal yang lebih sehat, sehingga pemerintah dapat merespons cepat berbagai tantangan ekonomi maupun kebutuhan mendesak negara.

Kebijakan efisiensi anggaran hingga 2026 yang diumumkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menuai beragam komentar dari kalangan ekonom, akademisi, dan pengamat kebijakan publik.

Ekonom senior Universitas Indonesia, Dr. Faisal Bahri, menilai langkah ini tepat untuk menjaga disiplin fiskal, apalagi di tengah ketidakpastian ekonomi global dan ancaman perlambatan pertumbuhan. Menurutnya, pemangkasan pos belanja non-esensial akan memberi ruang fiskal yang lebih besar bagi program prioritas.

“Penghematan di pos seremonial, perjalanan dinas, dan biaya konsultan itu logis. Namun, harus dipastikan bahwa dana hasil efisiensi benar-benar digunakan untuk program yang menyentuh kebutuhan rakyat secara langsung,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Lembaga Riset Kebijakan Publik Nusantara, Mira Kartika, mengingatkan adanya risiko efisiensi yang terlalu ketat bisa menghambat pelayanan publik. Ia mencontohkan, pemotongan anggaran pada infrastruktur atau peralatan kerja K/L yang terlalu besar bisa membuat kinerja birokrasi menurun.

“Efisiensi itu penting, tapi jangan sampai menjadi cost cutting membabi buta. Ada pos yang sifatnya vital dan harus tetap dijaga, terutama yang terkait pelayanan dasar masyarakat,” kata Mira.

Pengamat politik sekaligus dosen Universitas Gadjah Mada, Dr. Arief Nugroho, melihat kebijakan ini juga memiliki dimensi politik yang kuat. Menurutnya, Presiden Prabowo ingin menegaskan citra pemerintahan yang disiplin, efisien, dan antikorupsi sejak awal masa jabatannya.

“Publik tentu akan mengawasi sejauh mana konsistensi pemerintah. Kalau ini dijalankan dengan transparan, akan menjadi modal politik positif bagi Prabowo. Tapi jika realisasinya setengah hati, bisa jadi bumerang,” ujarnya.

Para pakar sepakat bahwa kunci keberhasilan kebijakan efisiensi terletak pada transparansi penggunaan dana hasil penghematan. Pemerintah diminta rutin melaporkan realisasi anggaran dan dampaknya terhadap program prioritas Presiden.

“Jika masyarakat bisa melihat ke mana dana efisiensi dialokasikan dan apa hasilnya, kepercayaan publik akan meningkat. Transparansi ini juga akan meminimalisir potensi penyalahgunaan anggaran,” kata Faisal Bahri.

Di sisi lain, Mira Kartika menekankan perlunya partisipasi publik dan DPR dalam mengawal revisi anggaran, agar efisiensi benar-benar menguntungkan rakyat, bukan sekadar memenuhi target angka di atas kertas.

“Efisiensi yang ideal adalah yang memotong pemborosan, bukan yang memotong hak rakyat,” tegasnya. (Red)

Posting Komentar

0 Komentar