Ticker

Ad Code

Hilangnya Komunikasi Pemkot–DPRD Palopo: APBD-P Jadi Polemik

GEMBLOG, Palopo – Hubungan eksekutif dan legislatif di Kota Palopo kembali disorot publik. Polemik perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2025 menguak persoalan serius dalam tata kelola keuangan daerah. DPRD menolak menandatangani rancangan APBD-P lantaran Pemkot dianggap melakukan perubahan sepihak tanpa melalui pembahasan resmi di forum Badan Anggaran (Banggar).

Ketua DPRD Palopo, Darwis, menegaskan bahwa perubahan program dan penghapusan sejumlah anggaran wajib (mandatori) tidak pernah mendapat persetujuan dewan. “Ada program baru yang tiba-tiba muncul, ada juga kewajiban pembayaran utang yang justru dihapus. Ini tidak pernah dibahas di Banggar,” ujarnya.

Sikap DPRD ini bukan tanpa alasan. Sejumlah program wajib, termasuk pembayaran utang senilai sekitar Rp30 miliar, hilang dari postur APBD-P. Sebaliknya, muncul berbagai program baru yang disebut-sebut sebagai “program siluman” karena tidak melalui mekanisme resmi.

Pengamat kebijakan publik Universitas Andi Djemma, A. Syahiruddin Syah, menilai langkah Pemkot Palopo tersebut telah melanggar etika birokrasi. Menurutnya, tata kelola keuangan daerah harus berlandaskan prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan kepatuhan hukum, Rabu (17/9/2025).

“Perubahan anggaran tanpa persetujuan DPRD jelas merusak sistem checks and balances. Selain melanggar aturan, hal ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik,” jelasnya.

Penolakan DPRD atas APBD-P bisa berimplikasi luas. Jika tidak segera ada titik temu, Pemkot Palopo terpaksa hanya mengandalkan APBD murni yang sudah ditetapkan di awal tahun. Kondisi ini dikhawatirkan menghambat program pembangunan yang mendesak, sekaligus menimbulkan beban keuangan baru karena kewajiban utang tidak terbayarkan.

“Kalau komunikasi seperti ini terus dibiarkan, yang rugi masyarakat. Jalan rusak tetap berlubang, pelayanan publik terganggu, sementara kredibilitas pemerintah daerah makin terpuruk,” kata seorang warga Palopo yang ikut menanggapi isu ini di media sosial.

Banyak pihak menilai jalan keluar terbaik adalah evaluasi ulang APBD-P dengan melibatkan DPRD secara penuh. Semua perubahan program harus disertai dokumen pendukung yang jelas, sementara program mandatori tidak boleh dihapus.

Darwis menegaskan DPRD terbuka untuk dialog. “Kalau Pemkot punya itikad baik, mari duduk bersama, koreksi bersama. Jangan sampai APBD-P justru menjadi beban baru bagi daerah,” tegasnya.

Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa komunikasi antara Pemkot dan DPRD adalah kunci utama menjaga kesehatan keuangan daerah. Tanpa koordinasi yang baik, APBD yang seharusnya menjadi alat pembangunan bisa berubah menjadi sumber konflik dan ketidakpastian.

Perubahan sepihak ini dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa penyusunan APBD adalah kewenangan bersama antara kepala daerah dan DPRD.

Pasal 316 ayat (1) menyebutkan bahwa kepala daerah mengajukan rancangan peraturan daerah tentang perubahan APBD untuk dibahas bersama DPRD.

Pasal 316 ayat (2) menegaskan bahwa pembahasan dilakukan dalam forum rapat DPRD, bukan secara sepihak.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah memperkuat aturan bahwa setiap perubahan anggaran, baik penambahan maupun penghapusan program, harus mendapat persetujuan DPRD.

Bahkan, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah memberikan panduan teknis yang mewajibkan koordinasi antara eksekutif dan legislatif agar perubahan APBD tidak menyalahi prinsip transparansi dan akuntabilitas.

“Jika Pemkot Palopo menghapus program mandatori tanpa persetujuan DPRD, maka secara normatif hal itu berpotensi menyalahi UU 23/2014, PP 12/2019, dan Permendagri 77/2020. Konsekuensinya bisa berupa pembatalan oleh Gubernur maupun evaluasi dari Kementerian Dalam Negeri,” jelas pengamat kebijakan publik Universitas Andi Djemma, A. Syahiruddin Syah.

Penolakan DPRD atas APBD-P bisa berimplikasi luas. Jika tidak segera ada titik temu, Pemkot Palopo terpaksa hanya mengandalkan APBD murni yang sudah ditetapkan di awal tahun. Kondisi ini dikhawatirkan menghambat program pembangunan yang mendesak, sekaligus menimbulkan beban keuangan baru karena kewajiban utang tidak terbayarkan.

“Kalau komunikasi seperti ini terus dibiarkan, yang rugi masyarakat. Jalan rusak tetap berlubang, pelayanan publik terganggu, sementara kredibilitas pemerintah daerah makin terpuruk,” kata seorang warga Palopo yang ikut menanggapi isu ini di media sosial. (SAD/Red)

Posting Komentar

0 Komentar