GEMBLOG, Jakarta – Putri sulung Presiden RI ke-2 Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut Soeharto, resmi menggugat Menteri Keuangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan yang teregister dengan Nomor 308/G/2025/PTUN.JKT ini mempersoalkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 266/MK/KN/2025 tentang pencegahan dirinya bepergian ke luar negeri karena urusan piutang negara.
Yang menarik, gugatan ini diajukan hanya beberapa hari setelah Presiden Prabowo Subianto melakukan reshuffle kabinet dan menunjuk Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati.
Sidang Perdana 23 September
PTUN Jakarta telah menjadwalkan sidang pemeriksaan persiapan pada:
- Hari/Tanggal: Selasa, 23 September 2025.
- Waktu: Pukul 10.00 WIB.
Agenda: Pemeriksaan kelengkapan dokumen gugatan dan penetapan jadwal sidang lanjutan.
Majelis hakim nantinya akan menentukan apakah gugatan Tutut layak untuk diperiksa lebih lanjut atau justru dinyatakan tidak dapat diterima.
Dalam berkas gugatan, Tutut menunjuk Ibnu Setyo Hastomo sebagai kuasa hukumnya.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta), panjar biaya perkara yang dibayarkan mencapai Rp. 900.000. Jumlah tersebut mencakup biaya pendaftaran, pemberkasan, dan administrasi pengadilan.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 266/MK/KN/2025 yang dipersoalkan Tutut ditandatangani pada 17 Juli 2025, saat Sri Mulyani masih menjabat Menkeu. Namun, karena gugatan diajukan setelah kursi Menkeu beralih ke Purbaya Yudhi Sadewa, maka secara formil gugatan ditujukan kepada Menteri Keuangan yang sedang menjabat.
Posisi ini membuat Purbaya langsung menghadapi ujian hukum di awal masa jabatannya. Publik menyoroti apakah perkara ini akan memengaruhi agenda penagihan piutang negara yang sedang gencar dijalankan pemerintah.
Hingga kini, pihak Kementerian Keuangan belum memberikan pernyataan resmi terkait gugatan Tutut.
Sementara itu, kalangan pengamat menilai kasus ini bukan sekadar perkara administrasi, tetapi juga akan menjadi barometer konsistensi pemerintah dalam menagih piutang negara tanpa pandang bulu, meski menyangkut nama besar keluarga Cendana.
Apapun hasilnya, sidang di PTUN Jakarta pada 23 September mendatang akan menjadi sorotan. Jika gugatan diterima untuk diperiksa, persidangan akan berlanjut ke tahap pembuktian. Namun bila ditolak, SK pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap Tutut tetap berlaku.
Analisis para Pakar Hukum terkait Gugatan Tutut Soeharto terhadap Menkeu
1. Dasar Hukum Gugatan ke PTUN.
Gugatan di PTUN diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (diubah dengan UU No. 9/2004 dan UU No. 51/2009).
Pasal 1 angka 9 UU PTUN: Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat TUN, bersifat konkret, individual, dan final, serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 266/MK/KN/2025 tentang pencegahan Tutut bepergian ke luar negeri memenuhi kualifikasi KTUN karena:
- dikeluarkan oleh pejabat TUN,
- bersifat individual (ditujukan kepada Tutut),
- final, dan
- menimbulkan akibat hukum (membatasi hak mobilitas).
- Karena itu, gugatan Tutut secara formil dapat diajukan ke PTUN.
2. Alasan Hukum Penggugat (Tutut Soeharto)
Tutut kemungkinan menggunakan dasar Pasal 53 ayat (2) UU PTUN, yang membolehkan seseorang menggugat KTUN apabila:
- Keputusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
- Keputusan melampaui kewenangan pejabat TUN,
- Atau terdapat unsur penyalahgunaan wewenang.
Tutut bisa berargumen:
1. Hak konstitusionalnya untuk bepergian keluar negeri dibatasi tanpa dasar hukum yang sah atau proporsional.
2. SK Menkeu dianggap tidak sesuai prosedur, misalnya tidak ada pemberitahuan atau tidak ada dasar kuat terkait piutang negara.
3. Ada kemungkinan dalih penyalahgunaan kewenangan, karena penerbitan SK pencegahan dilakukan saat ada transisi politik.
3. Kekuatan Hukum Pihak Tergugat (Kementerian Keuangan).
Di sisi lain, pemerintah (Menkeu) memiliki landasan hukum kuat:
- UU No. 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN).
- Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 51/PMK.09/2023 tentang Pencegahan Keluar Negeri dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara.
Kedua aturan ini memberi kewenangan kepada Menkeu untuk:
1. Mengajukan permintaan pencegahan ke luar negeri terhadap penanggung utang negara,
2. Mengeluarkan SK pencegahan sebagai instrumen administratif.
- Jadi secara substansi, Menkeu berwenang penuh menerbitkan SK tersebut, selama ada bukti piutang negara yang belum diselesaikan Tutut.
4. Peluang Gugatan Diterima atau Ditolak.
Peluang jika diterima:
Jika Tutut dapat membuktikan bahwa SK Menkeu melanggar asas contrarius actus (tidak sesuai prosedur atau tanpa dasar hukum yang sah),
Jika ada cacat formal, misalnya penerbitan SK tidak melalui mekanisme PUPN atau tanpa dokumen pendukung.
Peluang jika ditolak:
Jika PTUN menilai SK tersebut sah secara formil dan materiil, karena sesuai dengan UU PUPN dan PMK tentang pencegahan keluar negeri,
Jika terbukti memang ada piutang negara yang belum dilunasi Tutut, maka alasan pemerintah menjadi lebih kuat.
5. Implikasi Politik & Pemerintahan
Kasus ini bukan hanya soal administrasi, tapi juga akan menjadi ujian awal bagi Menkeu Purbaya dalam menangani perkara warisan kebijakan Sri Mulyani.
Jika gugatan dikabulkan, publik bisa menilai pemerintah tidak konsisten dalam menegakkan aturan piutang negara.
Jika ditolak, ini akan memperkuat posisi pemerintah bahwa penegakan piutang negara berlaku tanpa pandang bulu, termasuk terhadap keluarga Cendana.
Secara hukum, peluang pemerintah lebih kuat karena SK pencegahan Tutut diterbitkan sesuai kewenangan Menkeu berdasarkan UU PUPN. Namun, celah bagi Tutut tetap ada jika ia mampu membuktikan adanya cacat prosedural atau pelanggaran asas hukum administrasi. (TIM/Red)

0 Komentar