
Aktivis pendidikan sekaligus mantan anggota DPR, Rizal Nurdin, menilai Sri Mulyani sedang mencoba “cuci tangan” dengan menyerahkan urusan vital bangsa kepada masyarakat.
“Jangan diputarbalikkan! Guru dan dosen itu fondasi negara. Kalau negara masih ragu menanggung gaji mereka, itu artinya pemerintah gagal memahami prioritas pembangunan,” tegas Rizal.
Ia menambahkan, di tengah APBN yang habis-habisan membiayai proyek infrastruktur jumbo, subsidi energi, hingga anggaran politik, justru sektor pendidikan yang seharusnya vital malah jadi korban.
Sementara itu, analis kebijakan publik, Nurul Qalbi, menilai pernyataan Sri Mulyani bisa menjadi bumerang politik bagi pemerintah.
“Kalau isu ini dimainkan oposisi, bisa jadi bahan bakar politik. Bayangkan, guru dan dosen yang jumlahnya jutaan, ditambah keluarga mereka, tentu merasa dikhianati. Ini blunder komunikasi politik,” ujarnya.
Di lini media sosial, warganet bahkan menyindir keras dengan menyebut pemerintah lebih rela “menggelontorkan triliunan untuk membiayai IKN dan proyek mercusuar, sementara gaji guru dan dosen masih jadi bahan wacana.”
Kritik ini menegaskan satu hal: kesejahteraan pendidik adalah tanggung jawab negara, bukan komoditas politik atau beban yang bisa dialihkan ke masyarakat.
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang dilema gaji guru dan dosen masih menimbulkan gelombang kritik. Ungkapan bahwa kesejahteraan pendidik perlu dipertanyakan, apakah sepenuhnya harus dibebankan kepada APBN atau melibatkan partisipasi masyarakat, dinilai paradoks dengan realitas belanja negara.
Berdasarkan data APBN 2025, alokasi untuk fungsi pendidikan memang dipatok sebesar 20 persen sesuai amanat UUD 1945. Namun investigasi menunjukkan, porsi terbesar anggaran justru tersedot untuk program infrastruktur dan proyek strategis nasional (PSN), termasuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang mencapai Rp42,6 triliun tahun ini.
Sementara itu, belanja untuk peningkatan kesejahteraan guru dan dosen masih minim. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menunjukkan, lebih dari 40 persen guru honorer hanya menerima upah Rp500 ribu–Rp1,5 juta per bulan, jauh di bawah standar UMR.
Ketua Umum Federasi Guru Indonesia, Surya Darmawan, menilai pemerintah gagal menempatkan pendidik sebagai prioritas.
“Negara seolah rela menggelontorkan dana jumbo untuk beton, jalan tol, dan gedung mewah, tapi tidak mau menjadikan gaji guru sebagai investasi utama SDM. Ini jelas ironi nasional,” ujarnya.
Hal senada dikemukakan analis fiskal, Dr. Indah Sari, yang menyebut pernyataan Sri Mulyani kontradiktif.
“Kalau APBN bisa menopang subsidi energi hingga ratusan triliun, mengapa gaji guru harus dibebankan ke masyarakat? Bukankah SDM unggul adalah kunci keberlanjutan pembangunan itu sendiri?” tegasnya.
Di media sosial, kritik publik semakin deras. Tagar #GajiGuruDosenLayak sempat trending di X, dengan banyak warganet menuding pemerintah lebih memanjakan proyek mercusuar ketimbang memperhatikan nasib tenaga pendidik.
Investigasi ini menggarisbawahi bahwa masalah gaji guru dan dosen bukan soal keterbatasan anggaran, melainkan soal keberpihakan dan prioritas politik. Jika negara benar-benar menempatkan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan, maka kesejahteraan pendidik mestinya tak lagi menjadi bahan perdebatan, melainkan keputusan strategis yang segera diwujudkan. (TIM/Red)
0 Komentar