-->

Iklan

Benner Atas

MK Membatalkan, Kapolri Membolehkan: Ketika Peraturan Internal Menabrak Konstitusi

Admin
Sabtu, Desember 13, 2025 WIB Last Updated 2025-12-13T12:52:15Z


GEMBLOG, Opini Hukum - Pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang membolehkan anggota Polri aktif menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga sipil melalui Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 memicu polemik serius dalam sistem hukum dan demokrasi Indonesia. Kebijakan tersebut dinilai bertentangan secara langsung dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menegaskan larangan bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa mengundurkan diri atau pensiun dini.


Pertanyaannya sederhana namun krusial: hukum mana yang berlaku?


1. Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi.


Secara konstitusional, Mahkamah Konstitusi merupakan penjaga konstitusi (guardian of the constitution). Putusan MK bersifat:


- Final,

- Mengikat,

- Berlaku untuk umum (erga omnes).


Artinya, tidak ada lembaga negara, termasuk Kapolri, yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan ulang, apalagi mengabaikan putusan MK. Putusan MK memiliki kekuatan hukum setara undang-undang dan wajib dipatuhi oleh seluruh organ negara.


2. Hirarki Peraturan Perundang-undangan.


Menurut Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, urutan norma hukum adalah:


1. UUD 1945.

2. Undang-Undang / Perppu.

3. Peraturan Pemerintah.

4. Peraturan Presiden.

5. Peraturan Lembaga (termasuk Peraturan Polri).


Dari hirarki tersebut, jelas bahwa Peraturan Polri berada di bawah Undang-Undang dan Putusan MK. Dengan demikian, Perpol tidak boleh bertentangan dengan:


- UUD 1945

- Undang-Undang,

- Putusan Mahkamah Konstitusi.


Jika bertentangan, maka Perpol tersebut cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan mengikat.


3. Prinsip Supremasi Sipil dan Reformasi Polri


Putusan MK yang melarang Polri aktif menduduki jabatan sipil bertujuan menjaga:


- Supremasi sipil,

- Netralitas Polri,

- Pemisahan fungsi keamanan dan pemerintahan sipil.


Kebijakan yang membuka ruang penempatan polisi aktif di kementerian/lembaga sipil berpotensi menghidupkan kembali praktik dwifungsi yang secara tegas telah ditinggalkan sejak reformasi 1998.


4. Konflik Norma: Siapa yang Menang?


Dalam teori hukum berlaku asas:

"Lex superior derogat legi inferiori

(Hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah)"


Karena:

- Putusan MK = hukum lebih tinggi,


- Peraturan Polri = hukum lebih rendah.


Maka putusan MK yang berlaku dan wajib ditaati, sedangkan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 berpotensi:


- Dibatalkan melalui uji materiil di Mahkamah Agung,


- Menjadi objek pelanggaran konstitusi dan administrasi pemerintahan,


5. Implikasi Hukum dan Demokrasi.

Jika Perpol tersebut tetap dijalankan:


- Terjadi pembangkangan konstitusi,


- Muncul preseden buruk di mana lembaga eksekutif mengabaikan putusan yudikatif,


- Kepercayaan publik terhadap supremasi hukum semakin tergerus.


Secara hukum, putusan Mahkamah Konstitusi adalah yang berlaku dan mengikat, bukan Peraturan Polri. Kapolri tidak memiliki kewenangan untuk membuat aturan yang menabrak putusan MK. Jika dibiarkan, kebijakan ini bukan sekadar persoalan administrasi, melainkan ancaman serius terhadap konstitusionalisme dan prinsip negara hukum. (*)


Analisis ini bersumber dari: Konstitusi (UUD 1945), Putusan Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Kepolisian, UU Pembentukan Peraturan, Perundang-undangan dan Asas hukum tata negara dan administrasi negara.

 Sehingga secara yuridis, putusan MK tetap berlaku dan mengikat, sementara Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 dapat dinilai bertentangan dan berpotensi batal demi hukum.

Komentar

Tampilkan

  • MK Membatalkan, Kapolri Membolehkan: Ketika Peraturan Internal Menabrak Konstitusi
  • 0

Terkini