GEMBLOG, Jakarta - Pada Senin, 3 November 2025, ribuan murid kelas 12 SMA di seluruh Indonesia kembali diuji dengan Tes Kemampuan Akademik (TKA). Asesmen ini disebut-sebut sebagai upaya pemerintah memetakan kompetensi murid menjelang kelulusan. Namun, di balik niat baik itu, muncul gelombang keluhan dan keresahan dari para pelajar.
Bagi sebagian besar murid, pelaksanaan TKA terasa mendadak. Banyak yang mengaku belum mendapat penjelasan jelas soal tujuan dan dampaknya terhadap masa depan akademik mereka. “Kami tidak tahu apakah nilai TKA nanti akan jadi syarat masuk universitas atau tidak. Tapi yang pasti, tekanan kami bertambah,” kata seorang siswa SMA di Jakarta yang enggan disebutkan namanya.
Padahal, secara resmi TKA bukanlah penentu kelulusan maupun seleksi perguruan tinggi. Pemerintah menyebut asesmen ini hanya untuk pemetaan kemampuan. Namun kekhawatiran di kalangan pelajar tetap muncul, apalagi mengingat sejarah panjang sistem pendidikan Indonesia yang kerap berubah arah tanpa konsistensi.
Sejak era Reformasi, dunia pendidikan Indonesia telah mengalami pergantian kurikulum sebanyak enam kali. Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, Kurikulum 2013 (K-13), hingga Kurikulum Merdeka yang diluncurkan pada 2022.
Pergantian kurikulum ini, menurut para pengamat, lebih sering tampak sebagai upaya tiap rezim untuk meninggalkan “jejak politik pendidikan” daripada hasil evaluasi menyeluruh terhadap sistem yang sudah berjalan.
“Setiap kali ada menteri baru, muncul kurikulum baru. Sayangnya, reformasi kurikulum dilakukan tanpa arah yang benar-benar strategis. Murid dan guru seperti kelinci percobaan,” tulis Nurul Fitri Ramadhani, peneliti pendidikan dari The Conversation, dalam laporannya.
Setiap perubahan sistem dan kebijakan baru, dari nama asesmen hingga format ujian, justru memperbesar beban bagi guru dan siswa. Guru dipaksa menyesuaikan kembali rencana pengajaran dan perangkat ajar, sementara murid harus cepat beradaptasi dengan metode dan target pembelajaran yang baru.
Kondisi ini membuat fokus utama pendidikan yaitu pembentukan karakter dan kemampuan berpikir kritis sering kali terabaikan. Sekolah sibuk mengejar format ujian, bukan proses belajar yang bermakna.
“Kalau setiap tahun berganti kebijakan, bagaimana kita bisa menumbuhkan generasi yang stabil dan berdaya saing?” kata seorang guru di Makassar yang merasa sistem kini lebih sering memaksa daripada membimbing.
Pemerintah kerap menggaungkan visi Generasi Emas 2045, yakni generasi yang cerdas, adaptif, dan berdaya saing global. Namun dengan pola kebijakan yang sering berubah tanpa evaluasi mendalam, cita-cita itu kian tampak seperti jargon semata.
Pendidikan yang seharusnya menjadi investasi jangka panjang kini justru seperti arena percobaan kebijakan yang tak pernah tuntas. Murid masih terus menjadi korban ketidakkonsistenan sistem dari pergantian kurikulum, format ujian, hingga standar asesmen yang tak kunjung stabil.
Kalau begini terus, mungkin pertanyaannya bukan lagi kapan kita mencetak generasi emas, tapi apakah kita benar-benar sedang menyiapkannya? (Red)
Sumber: Nurul Fitri Ramadhani, The Conversation (2025)

0 Komentar