GEMBLOG, Makassar – Di sebuah sekolah dasar di pinggiran kota, murid-murid belajar di ruang kelas yang atapnya bocor. Saat hujan turun, mereka harus menggeser bangku ke sudut ruangan agar tidak basah kuyup. Ironisnya, di atas kertas, laporan keuangan menunjukkan bahwa “renovasi atap sekolah” sudah selesai dengan sempurna.
Fenomena seperti ini bukan cerita tunggal. Di banyak daerah, Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang semestinya menjadi penyelamat pendidikan justru menjelma jadi celah empuk permainan oknum, redaksi mengangkat hal ini sebagai bahan renungan, Rabu (3/8/2025).
Belanja alat tulis kantor (ATK) kadang lebih mahal daripada belanja laptop. Buku, seragam, hingga perlengkapan sekolah lainnya dicatat dengan harga melambung, seolah-olah sekolah belanja di butik, bukan di pasar grosir. Kwitansi fiktif pun hadir sebagai “pelengkap administrasi”.
Belanja modal juga tak luput dari permainan. Ada komputer, printer, bahkan mesin fotokopi yang dibeli dengan harga ratusan persen lebih tinggi. Namun, sebagian barang tak pernah tercatat dalam inventaris. Beberapa bahkan raib, seakan lenyap ditelan bumi.
Kegiatan pelatihan guru dan workshop peningkatan mutu kerap hanya ramai di undangan. Ruangan kosong, peserta minim, tapi laporan mencatat ratusan nama hadir. Honorarium dicairkan, transportasi dimark up, dan akomodasi dicatat seolah guru menginap di hotel berbintang.
Pos perjalanan dinas juga jadi ladang empuk. Surat Pertanggungjawaban (SPJ) disusun rapi, uang harian dinaikkan, dan kunjungan ke luar daerah hanya sekadar formalitas. Di balik laporan yang meyakinkan, aktivitas lapangan nyaris tak ada.
Yang paling tragis adalah pemeliharaan sekolah. Gedung yang lapuk, cat mengelupas, lantai retak, hingga toilet rusak masih menghantui banyak sekolah. Padahal, di Rencana Anggaran Biaya (RAB), dana renovasi telah dicairkan. Laporan rapi, tapi kualitas pekerjaan buruk, bahkan ada yang fiktif sama sekali.
Praktik manipulasi Dana BOS menunjukkan bahwa pendidikan sering kali hanya dijadikan ladang bisnis. Alih-alih memperbaiki kualitas belajar, dana habis di kantong oknum. Murid dan guru tetap berjuang dengan keterbatasan, sementara laporan pertanggungjawaban tampil indah tanpa cela.
Seakan belum cukup, muncul lagi proyek baru yang menambah daftar keluhan kepala sekolah. Program Pembelajaran Mendalam (PM) atau Deep Learning belakangan justru menjadi “lubang” baru penyerapan Dana BOS.
Bayangkan, hanya untuk sekali kegiatan perdana, dana Rp 7,5 miliar digelontorkan. Dana itu diambil dari BOS dengan melibatkan 540 Kepala Sekolah SMA dan SMK se-Sulawesi Selatan.
Alih-alih menambah kualitas pembelajaran, program ini justru meninggalkan tanda tanya besar. Banyak kepala sekolah mengaku terbebani dan tidak pernah dilibatkan secara utuh dalam perencanaan.
“Dana BOS seharusnya untuk anak-anak di sekolah, bukan untuk proyek mercusuar seperti ini,” keluh salah seorang kepala sekolah yang enggan disebut namanya.
Lebih miris lagi, ketika ditanyakan ke pejabat terkait, jawaban yang muncul justru saling lempar tanggung jawab. Ada yang berdalih program ini wajib karena perintah pusat, ada pula yang mengklaim kewenangan ada di provinsi. Akibatnya, kepala sekolah berada di posisi serba salah, sementara dana yang tersedot begitu besar sulit dipertanggungjawabkan secara moral.
“Kalau sudah bicara kegiatan besar seperti ini, selalu ujung-ujungnya sekolah yang diminta menyesuaikan. Pejabat tinggal tanda tangan, kami yang pusing di bawah,” tambah sumber yang lain. (Red)


0 Komentar