Ticker

Ad Code

Argumen Rekayasa Dipertontonkan di Ruang Sidang DPR Papua Barat Daya: Kasus Kais Memanas

GEMBLOG, Manokwari - Suasana ruang sidang DPR Provinsi Papua Barat Daya mendadak tegang pada Rabu siang. Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi I DPR Papua Barat Daya menghadirkan dua pihak yang berseteru: Yesaya Saimar dan perusahaan PT Mitra Pembangunan Global (MPG), (24/9/2025).

Rapat ini menjadi RDP pertama sejak berdirinya Provinsi Papua Barat Daya, dan membahas sengketa yang melibatkan masyarakat adat di Distrik Kais, Kabupaten Sorong Selatan.

Ketua Komisi I DPR Papua Barat Daya Zed Kadokolo memimpin langsung jalannya sidang. Dalam sambutannya, ia memperkenalkan seluruh anggota Komisi I serta menyapa para tamu undangan yang hadir.

Turut hadir dalam forum itu: Wakil Bupati Sorong Selatan, Kepala Dinas Perhubungan, KSOP Sorong Selatan dan KSOP Kelas I Sorong, perwakilan Polda Papua Barat Daya melalui Dirkrimum Junov Siregar, Kapolres Sorong Selatan AKBP Glen Molle, serta kuasa hukum kedua belah pihak — Simon M. Soren, SH, MH (pihak Yesaya Saimar) dan Yosep Titirlolobi (pihak PT MPG).

Dalam paparannya, Simon M. Soren memaparkan kronologis panjang konflik antara Yesaya Saimar dan PT MPG. Ia menjelaskan bahwa mediasi yang dilakukan sejak 2016 tak kunjung membuahkan hasil, bahkan berujung pada pelanggaran terhadap surat pernyataan yang disepakati kedua belah pihak.

Menurutnya, perpindahan satu unit tugboat dan tongkang yang dijadikan jaminan kompensasi justru menjadi sumber masalah baru.

Simon juga menyoroti dugaan rekayasa pengambilan paksa Yesaya Saimar dan istrinya oleh aparat Polres Sorong Selatan dengan bantuan oknum LMA dan anak-anak Yesaya sendiri sebagai “jalan masuk” untuk menjerat korban.

 “Proses itu tidak melibatkan kuasa hukum. Klien saya dibawa ke salah satu rumah di Aimas, dipaksa menulis surat pencabutan kuasa, dan seluruh komunikasinya diputus,” ungkap Simon tegas.

Dalam kesaksiannya, Yesaya Saimar menyebut PT MPG sebagai “perusahaan siluman” yang tidak memiliki alamat maupun struktur yang jelas di wilayah Sorong maupun Sorong Selatan.

“Perusahaan itu sudah bangkrut, tapi kami tetap menanggung akibatnya. Hutan kami rusak, ekosistem hancur. Hutan bagi kami adalah mama kami, tempat kami hidup dan mencari makan,” ujar Yesaya dengan suara bergetar.

Ia menambahkan, masyarakat hanya menuntut hak kompensasi wajar atas eksploitasi sumber daya alam di tanah ulayat mereka.

 “Kami meminta hak kami seperti pengemis, padahal mereka sudah mengeruk kekayaan alam kami. Tidak ada dampak positif yang kami rasakan,” tambahnya.

Menanggapi tudingan tersebut, Dirkrimum Polda Papua Barat Daya Junov Siregar membantah adanya larangan atau intimidasi terhadap Yesaya Saimar. Pernyataan itu diperkuat oleh Kapolres Sorong Selatan AKBP Glen Molle, yang menegaskan bahwa tidak ada niat aparat untuk merugikan masyarakat.

 “Kami bekerja berdasarkan hukum, bukan untuk menghancurkan rakyat. Kami selalu berpihak pada kebenaran,” ujar Glen di hadapan forum.

Sementara itu, Kasat Reskrim Calvin R. Simbolon menjelaskan bahwa pengamanan terhadap Yesaya dilakukan atas permintaan keluarga, bukan penculikan. Namun, pengakuan tersebut ditentang keras oleh pihak Yesaya yang menilai proses itu penuh rekayasa.

Dalam sesi berikutnya, KSOP Sorong Selatan menjelaskan bahwa tugboat yang dipersoalkan beroperasi antara 2015 hingga 2018, namun sejak saat itu tidak lagi aktif dan surat-suratnya telah kedaluwarsa.

Sementara KSOP Kelas I Sorong menyatakan hanya mengeluarkan izin pengelasan untuk mencegah pencemaran lingkungan, bukan izin operasional. Pihaknya pun mengaku tidak diberi akses masuk ke lokasi perairan Polairud Polda Papua Barat Daya, yang menimbulkan tanda tanya besar dalam rapat.

Menariknya, pihak PT MPG tidak hadir langsung dan hanya diwakili oleh penasehat hukumnya, Yosep Titirlolobi. Namun, Yosep justru meninggalkan ruang sidang tanpa izin, yang memicu reaksi keras dari Komisi I.

Kuasa hukum Yesaya, Simon M. Soren, menilai tindakan Yosep itu melecehkan lembaga DPR.

 “Ini bentuk tidak etis dan merendahkan marwah DPR Papua Barat Daya sebagai lembaga perwakilan rakyat tertinggi di daerah,” tegas Simon.

Setelah perdebatan panjang, Ketua Komisi I Zed Kadokolo membacakan tiga poin kesimpulan rapat:

1. Memanggil langsung pihak PT MPG dalam rapat lanjutan.

2. Kuasa hukum Yesaya Saimar diminta menyerahkan rincian hak dan pembayaran kompensasi.

3. Melarang segala aktivitas di sekitar bangkai kapal tugboat dan tongkang, serta menegaskan bahwa KSOP Kelas I berwenang mengawasi area tersebut tanpa memberi izin olah gerak.

Rapat ditutup dengan keputusan bahwa RDP akan dilanjutkan pada 20 September 2025 untuk mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari pihak perusahaan.

Kasus Yesaya Saimar dan PT MPG menjadi potret peliknya relasi antara masyarakat adat dan korporasi di tanah Papua. Di tengah janji investasi dan pembangunan, suara rakyat kecil seringkali tenggelam di balik kepentingan besar.

Apakah DPR Papua Barat Daya mampu menjadi penengah yang adil dalam sengketa ini?

Rakyat Kais kini menanti, bukan hanya keadilan, tetapi pengakuan atas hak hidup di tanah leluhur mereka. (TIM/Red)


Posting Komentar

0 Komentar