GEMBLOG, Jakarta – Gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan tajam publik. Setelah kebijakan baru soal tunjangan rumah sebesar Rp. 50 juta per bulan diberlakukan pada periode 2024–2029, total penghasilan resmi wakil rakyat kini menembus lebih dari Rp100 juta setiap bulan.
Kebijakan ini ditetapkan melalui Surat Sekretariat Jenderal DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024. Tunjangan tersebut diberikan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas yang sebelumnya tersedia, namun justru menimbulkan polemik besar karena dianggap tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang semakin tertekan.
Secara aturan, gaji pokok anggota DPR diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000 serta diperjelas lewat Surat Edaran Sekjen DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 dan Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015.
Berdasarkan ketentuan tersebut:
- Ketua DPR menerima gaji pokok sebesar Rp5,04 juta per bulan.
- Wakil Ketua DPR mendapatkan Rp4,62 juta.
- Anggota biasa hanya Rp4,2 juta.
Jika melihat angka ini, penghasilan wakil rakyat tampak tidak jauh berbeda dengan pegawai negeri sipil golongan menengah. Namun, gaji pokok hanyalah “pintu masuk” sebelum ditambah sederet tunjangan.
Ada tunjangan jabatan, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, uang sidang, asisten anggota, tunjangan listrik, telepon, hingga beras. Kombinasi komponen inilah yang membuat penerimaan anggota DPR melonjak ke kisaran Rp.55–66 juta per bulan sebelum adanya tunjangan rumah.
Dengan tambahan tunjangan rumah Rp.50 juta per bulan, total penerimaan anggota DPR kini resmi di atas Rp100 juta per bulan.
Dengan jumlah anggota DPR mencapai 580 orang, negara harus mengeluarkan sekitar Rp.29 miliar per bulan hanya untuk membiayai tunjangan rumah. Jika dikalkulasi selama satu periode jabatan lima tahun, total anggaran mencapai Rp.1,74 triliun.
Angka fantastis ini menuai kecaman dari berbagai kalangan. Publik menilai kebijakan tersebut tidak masuk akal, apalagi jika melihat fakta bahwa tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat-rapat penting masih sering rendah.
Di satu sisi, pemerintah tengah gencar menggaungkan efisiensi belanja negara dan penghematan anggaran. Namun di sisi lain, DPR justru menambah beban keuangan negara dengan tunjangan baru bernilai besar.
“Sulit diterima logika, rakyat disuruh berhemat, tapi wakil rakyat justru menambah fasilitas mewah untuk dirinya sendiri,” ujar seorang pengamat politik.
Kontras semakin terasa ketika masyarakat masih bergulat dengan harga kebutuhan pokok yang terus melonjak, lapangan pekerjaan yang terbatas, serta tekanan ekonomi akibat perlambatan pertumbuhan.
Kontroversi gaji dan tunjangan DPR kini bukan hanya soal angka, melainkan soal legitimasi moral dan politik. Publik mempertanyakan komitmen wakil rakyat yang seharusnya menjadi representasi suara masyarakat, bukan justru menambah beban negara dengan berbagai fasilitas.
Jika polemik ini terus berlanjut tanpa respons konkret dari DPR, bukan tidak mungkin kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif semakin merosot, memperdalam jurang antara rakyat dan wakil yang dipilih untuk mewakilinya.
Polemik Tunjangan Rumah DPR: DPR–Kemenkeu Saling Lempar Penjelasan
Kontroversi tunjangan rumah Rp.50 juta per bulan bagi anggota DPR RI kian memanas. Alih-alih memberi kejelasan, DPR dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) justru saling melempar penjelasan terkait siapa yang bertanggung jawab menetapkan nominal fantastis tersebut.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Luky Alfirman, ketika ditanya mengenai alokasi anggaran untuk tunjangan rumah DPR, memilih irit bicara. Ia menegaskan bahwa persoalan tersebut sebaiknya ditanyakan langsung kepada DPR.
“Ya dari mana lagi (kalau bukan dari APBN). Tanya DPR,” ujarnya singkat.
Namun, pernyataan itu segera dibantah oleh pihak DPR. Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menuding pemerintah melalui Kemenkeu sebagai pihak yang menentukan besaran tunjangan rumah tersebut.
“Skema tunjangan rumah ini sudah berjalan sejak Oktober 2024, menggantikan fasilitas rumah dinas DPR di Kalibata yang sudah dikembalikan ke Sekretariat Negara untuk proyek rumah bersubsidi. DPR hanya menerima kebijakan yang sudah diputuskan pemerintah,” jelas Misbakhun.
Misbakhun menegaskan bahwa DPR tidak lagi mendapat fasilitas rumah dinas sehingga pemerintah memberikan kompensasi berupa tunjangan rumah. “Standarnya jelas, sesuai standar pejabat negara,” katanya.
Namun, saat disinggung mengenai nilai Rp. 50 juta yang dianggap tidak masuk akal, Misbakhun kembali melempar pertanyaan kepada pemerintah.
“Itu satuan harga ditentukan pemerintah, bukan DPR. Jadi tanyakan ke mereka kenapa nilainya seperti itu,” ujarnya dengan nada tinggi.
Saling lempar pernyataan ini membuat publik semakin bingung. Hingga kini, belum ada kejelasan siapa sebenarnya yang menetapkan angka Rp. 50 juta per bulan sebagai standar tunjangan rumah wakil rakyat.
Kebingungan ini menambah amarah publik yang sudah sejak awal menilai kebijakan tersebut berlebihan. Di tengah kondisi masyarakat yang bergulat dengan biaya hidup tinggi, DPR justru menikmati fasilitas baru bernilai triliunan rupiah dari uang negara.
“Baik DPR maupun pemerintah sama-sama cuci tangan. Padahal jelas, yang dikorbankan adalah kepercayaan publik terhadap lembaga negara,” ungkap seorang pengamat politik.
Polemik tunjangan rumah DPR kini tak hanya soal angka, tapi juga menyangkut transparansi, akuntabilitas, dan sensitivitas elite politik terhadap kondisi rakyat.
Jika dibiarkan berlarut-larut, kontroversi ini berpotensi semakin memperlebar jurang antara masyarakat dengan para pengambil kebijakan. (Red)

0 Komentar