Ticker

Ad Code

Dunia Pers Diguncang! Upaya Suap untuk Bungkam Skandal 95 Senator DPD RI Terbongkar

GEMBLOG, Jakarta – Dunia pers kembali dihadapkan pada kenyataan pahit. Media Nasional Obor Keadilan mengaku menerima intervensi kotor dari seseorang bernama W. Jokotri3, yang mengaku sebagai vendor alias perantara “damai”. Bukan melalui jalur hukum, pria ini justru menawari takedown berita terkait dugaan suap 95 senator DPD RI dengan imbalan tertentu, Kamis (28/8/2025).




















“Kami hanya ingin meredam saja, Bang. Tidak semua media diminta takedown, hanya yang dipilih saja diajak kerjasama untuk meluruskan,” tulis Jokotri3 dalam pesan yang diterima redaksi.



Alih-alih memberi ruang klarifikasi, ia justru menuding laporan aktivis muda Muhammad Fithrat Irfan soal suap DPD hanya dugaan tanpa bukti kuat. Bahkan, Jokotri3 berani menyebut Irfan sedang membuat opini liar dan blunder.

Lebih jauh, ia menantang agar jika merasa dirugikan, sebaiknya Irfan menggugat ke pengadilan atau lapor polisi. “Kita ini negara hukum, bukan negara gertak ecek-ecek,” ujarnya sinis.

Datang dari Pemimpin Redaksi Media Nasional Obor Keadilan, Obor Panjaitan, mengecam keras tawaran barter imbalan tersebut. Menurutnya, itu adalah bentuk pelecehan terhadap kemerdekaan pers sekaligus ancaman nyata bagi demokrasi.

“Kami lahir untuk menegakkan kebenaran, bukan menjual berita demi kepentingan sesaat. Tidak ada ruang untuk suap atau intervensi dalam ruang redaksi Obor Keadilan,” tegas Obor Panjaitan.

Sebagai langkah nyata, Obor Keadilan memastikan akan melaporkan intervensi kotor ini ke Dewan Pers dan aparat penegak hukum. Publik, kata dia, berhak tahu siapa saja yang berusaha membungkam media dengan cara busuk.

Kasus ini tak berdiri sendiri. Sebelumnya, aktivis muda Muhammad Fithrat Irfan kembali menjadi target teror usai membongkar dugaan praktik suap yang menyeret 95 senator DPD RI.

Ancaman datang bertubi-tubi: mulai dari telepon gelap, pesan intimidasi, peretasan data pribadi dirinya dan keluarga, hingga kampanye fitnah brutal di media sosial.

“Hari ini saya dan keluarga jadi korban, besok bisa saja kalian. Oknum yang mengaku aparat bebas meretas data pribadi rakyat, padahal RUU KUHAP saja belum disahkan,” ujar Irfan.

Irfan bahkan menyebut salah satu pelaku peretasan mengaku bernama “Bima dari Cyber Polri”.

Dalam keterangannya, Irfan menegaskan ada praktik transaksional kotor dalam pemilihan pimpinan DPD RI. Ia menyebut oknum Kementerian Hukum, perwira Marinir TNI AL, hingga perwira tinggi Polri ikut hadir dalam distribusi uang.

“Semua yang hadir di Nusantara V menyaksikan bagaimana uang itu dimainkan,” tegasnya.

Nama Sultan Bachtiar Nadjamudin disebut sebagai Ketua DPD terpilih, sementara Abcandra Akbar Supratman, putra Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, berhasil duduk sebagai Wakil Ketua MPR dari unsur DPD.

Pakar: “Demokrasi Terancam Jadi Kartel Politik”

Gelombang teror terhadap Irfan dan intervensi terhadap media memicu reaksi keras sejumlah pakar hukum dan aktivis antikorupsi.

“Jika benar ada peretasan oleh oknum yang mengatasnamakan aparat, ini pelanggaran konstitusi serius. Negara seharusnya melindungi warganya, bukan membiarkan aparat dipakai sebagai alat teror,” ujar seorang pakar hukum.

Mereka juga menegaskan, skandal 95 senator ini berpotensi menjadi mega korupsi politik. Upaya bungkam terhadap Irfan dan media hanyalah bukti bahwa ada pihak yang ingin menutupinya.

“Jangan sampai demokrasi kita berubah menjadi mafia politik. Kalau negara diam, rakyat akan kehilangan kepercayaan sepenuhnya,” pungkasnya.

Irfan: “Langit Runtuh, Saya Tidak Mundur”

Meski diteror habis-habisan, Irfan menegaskan akan tetap berdiri di garis perlawanan.

“Saya tetap konsisten menuntut kebenaran ditegakkan, walaupun langit runtuh dan bumi terbelah. Publik masih mengawal kasus ini,” katanya lantang.

Lewat kuasa hukumnya, Aziz Yanuar, S.H., Irfan bahkan menantang Sufmi Dasco Ahmad dan Presiden Prabowo Subianto untuk membuktikan komitmen antikorupsi.

“Kalau benar berkomitmen, tunjukkan sikap adil tanpa tebang pilih—even jika kader sendiri yang terlibat. Hukum harus ditegakkan!” tegas Aziz.

Kasus ini kini bukan sekadar soal dugaan suap, tapi juga ujian: apakah Indonesia masih negara demokrasi, atau sudah sepenuhnya disandera oleh kartel politik. (TIM/Red)


Posting Komentar

0 Komentar