GEMBLOG, Luwu Utara - Polemik lahan eks-HGU sawit seluas 500 hektare di Desa Rampoang, Kecamatan Tanalili, yang kini direncanakan sebagai lokasi pembangunan Yon TP 872 Andi Djemma, memperlihatkan konflik klasik antara negara dan masyarakat adat. Gesekan yang terjadi antara warga dan aparat TNI di lapangan menjadi gambaran nyata bahwa kebijakan yang tidak disertai kepastian hukum hanya akan membuka ruang benturan yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Di satu sisi, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mengklaim bahwa lahan ini merupakan aset negara yang diperoleh dari program ganti rugi tanah dan tanaman tahun 1977 untuk proyek kebun induk kelapa unggul. Di sisi lain, masyarakat adat Rampoang menyatakan bahwa wilayah tersebut merupakan tanah ulayat “Kau-Kau” yang mereka kelola turun-temurun dan tidak pernah diserahkan kepada pemerintah.
Ketegangan ini bukan sekadar sengketa tanah, ini adalah persoalan hak, sejarah, legalitas, dan rasa aman.
Akar Persoalan: Negara Tidak Punya Dokumen Lengkap, Masyarakat Tidak Punya Alas Hak Formal
Informasi yang berkembang mengungkapkan bahwa Dinas Perkebunan Provinsi Sulsel tidak mampu menunjukkan dokumen lengkap terkait dasar perolehan lahan 500 hektare tersebut. Sementara itu, masyarakat juga tidak memegang alas hak resmi yang diakui negara, meski memiliki bukti penguasaan turun-temurun.
Ketidakjelasan ini melahirkan:
- klaim sepihak dari semua pihak,
- rasa memiliki dari masyarakat,
- rasa terancam ketika negara masuk,
dan ketegangan antara rakyat serta TNI di lapangan.
Dengan kata lain, ketidakjelasan status tanah adalah akar persoalan, bukan pembangunan Yon TP itu sendiri.
Dugaan Manipulasi 1977: Mengapa Masyarakat Melawan?
Penolakan masyarakat bukan tanpa dasar. Mereka membawa sejumlah bukti dan kejanggalan dokumen tahun 1977 yang dianggap bermasalah, di antaranya:
1. Ganti rugi 500 ha diterima oleh satu orang.
Kwitansi menunjukkan bahwa Rp 5 juta sebagai tahap pertama dibayarkan kepada Andi Hamid (Opu Onang). Masyarakat mempertanyakan kewenangannya:
- apakah ia mewakili seluruh pemilik tanah adat?
- apakah ada musyawarah adat?
- apakah proses ini sah secara hukum agraria dan adat?
2. Tanda tangan 49 orang diduga rekayasa.
Dalam dokumen berita acara penyerahan ganti rugi:
sejumlah tanda tangan tidak dikenal,
ada masyarakat yang menyatakan tidak pernah menandatangani,
sebagian data dinilai manipulatif.
3. Jika dokumen dasar cacat, hibah ke TNI ikut menjadi cacat.
Dalam hukum administrasi:
keputusan yang dilandasi dokumen tidak sah dapat dibatalkan demi hukum,
hibah Pemprov kepada TNI juga berpotensi tidak sah,
penerima hibah tidak dapat mengklaim hak jika objek hibah bermasalah.
Oleh karena itu masyarakat menolak pembangunan, karena mereka meyakini lahan itu adalah wilayah adat Kau-Kau yang tidak pernah dilepas.
RDP DPRD: Semua Pihak Punya Alasan, Tetapi Tidak Memiliki Kepastian
Dalam Rapat Dengar Pendapat di DPRD Luwu Utara, tampak jelas:
klaim tanah ulayat tidak dapat dibuktikan secara formal,
Pemprov tidak dapat menunjukkan dokumen lengkap,
TNI tetap melanjutkan pembangunan karena menjalankan perintah komando berdasarkan hibah,
masyarakat bertahan karena meyakini ada manipulasi sejarah tanah.
Semua pihak berjalan dengan keyakinannya masing-masing tanpa pijakan legal yang final.
Di sinilah letak bahaya konflik agraria:
ketika negara tidak memiliki dokumen final, dan masyarakat tidak memiliki alas hak formal, benturan mudah terjadi.
Apakah Pemprov Membenturkan Rakyat dan TNI?
Gesekan di lapangan memunculkan pertanyaan kritis:
Apakah Pemprov seolah membiarkan rakyat berhadapan dengan TNI?
TNI hanya menjalankan perintah negara.
Masyarakat mempertahankan ruang hidup.
Namun ketika pemerintah menyerahkan lahan yang statusnya masih sengketa, maka rakyat dan TNI menjadi dua pihak yang saling berhadapan padahal keduanya bukan aktor utama persoalan.
Inilah mengapa langkah Pemprov patut dikritisi dari perspektif administrasi pemerintahan.
Opini Hukum: Kepastian adalah Kunci, Bukan Percepatan atau Penghentian Pembangunan
Dari kacamata hukum agraria:
1. Tanah adat dilindungi konstitusi
Putusan MK No. 35/2012 menegaskan tanah ulayat tidak boleh dialihkan tanpa persetujuan komunitas adat.
2. Dokumen cacat → hibah cacat → pembangunan tidak boleh dilanjutkan.
Keputusan hibah adalah keputusan turunan. Jika dasar awal bermasalah, seluruh tindakan administratif berikutnya ikut bermasalah.
3. Pembangunan di atas tanah sengketa harus dihentikan sampai status legalnya final.
4. Negara wajib menjadi penengah, bukan menjadi pemicu benturan.
Karena itu, penyelesaian tidak boleh berhenti di level desa atau kabupaten.
Persoalan ini harus naik ke:
- Pemerintah Provinsi,
- Kementerian ATR/BPN,
- dan Kementerian Pertanian.
Mereka harus melakukan verifikasi historis dan legal sebelum pembangunan berjalan.
Solusi terbaik bukan memilih masyarakat atau negara.
Solusinya adalah mengakhiri ketidakjelasan.
Yang harus dilakukan negara:
1. Audit forensik terhadap dokumen tahun 1977.
2. Verifikasi status lahan oleh ATR/BPN.
3. Transparansi penuh kepada masyarakat mengenai data dan sejarah aset.
4. Mediasi tiga pihak: masyarakat – Pemprov – TNI.
5. Menunda aktivitas pembangunan sampai status tanah diputuskan secara formal.
Karena tanah bukan hanya ruang fisik, ia adalah identitas, sumber ekonomi, dan rasa aman.
Keputusan yang diambil tanpa dasar yang kuat berpotensi merusak kepercayaan publik.
Masyarakat tidak menolak keberadaan negara.
TNI tidak bermaksud merugikan rakyat.
Pemprov juga tidak berkeinginan menciptakan konflik.
Tetapi ketidakjelasan dokumen, konflik klaim, dan keputusan administratif yang tidak kokoh telah membawa semua pihak pada ketegangan yang tidak perlu.
Agar pembangunan dan ketentraman bisa berjalan berdampingan, tiga fondasi harus ditegakkan:
Kepastian hukum adalah solusi.
Transparansi adalah jembatan.
Musyawarah adalah jalan tengah.
Dan hanya setelah status lahan final dan sah, barulah semua pihak dapat melangkah tanpa prasangka dan tanpa rasa dirugikan. (*)
_ARTIKEL BERITA & OPINI HUKUM TERPADU_



