-->

Iklan

Benner Atas

Tanah Nusantara, Dari Leluhur Ke Negara

Admin
Rabu, November 19, 2025 WIB Last Updated 2025-11-19T07:47:24Z


_Oleh: H. Rohmani, S.Pd., M.A._


GEMBLOG, NUSANTARA - Sebelum kata “Indonesia” lahir, jauh sebelum republik berdiri, tanah di Nusantara sudah punya tuannya: masyarakat adat. Bagi mereka, tanah bukan sekadar hamparan lahan, ia adalah ibu yang memberi makan, ruang hidup yang menyatukan manusia dengan alam, leluhur, dan generasi mendatang.


Di banyak wilayah, masyarakat adat hidup dengan hak ulayat, sistem penguasaan kolektif yang dijaga bersama. Tanah diwariskan turun-temurun, tidak untuk diperjualbelikan, apalagi dipisah dari komunitas. Tidak ada sertifikat. Yang ada hanya batas alam, ingatan generasi tua, dan kesepakatan adat. Itu sudah cukup.



Namun, sejarah Nusantara berubah drastis ketika kekuasaan kolonial mulai menancapkan kukunya.


Ketika Pena Kolonial Mengubah Nasib Tanah.


Abad ke-19, Belanda datang bukan hanya dengan senjata, tapi juga hukum—alat yang lebih sunyi namun jauh lebih mematikan. Tahun 1870, lahirlah dua instrumen yang kelak mengubah wajah agraria Nusantara:


Agrarische Wet 1870


Domein Verklaring = sebuah pernyataan sepihak bahwa tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya menurut hukum Barat, otomatis dianggap milik negara kolonial.


Akibatnya?

Dalam sekejap, ratusan ribu hektar tanah adat beralih status menjadi tanah negara kolonial. Tanah itu kemudian disewakan ke perusahaan-perusahaan Eropa untuk perkebunan besar: kopi, tebu, teh, hingga karet.


Inilah awal tragedi panjang: tanah yang selama berabad-abad dikelola komunitas, diubah menjadi komoditas.


Merdeka, tapi Tak Semua Belenggu Lepas.


Ketika Indonesia merdeka, semangatnya jelas: menghapus warisan hukum kolonial. Tahun 1960, lahirlah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai tonggak perubahan besar. Di sinilah konsep baru diperkenalkan: negara tidak memiliki tanah, tetapi menguasai demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


UUPA mengakui keberadaan hukum adat, tapi dengan catatan penting:


 "Selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional."


Masalahnya, istilah “kepentingan nasional” ini lentur. Di atas kertas, masyarakat adat tetap diakui. Tetapi di lapangan, negara bisa mengambil alih tanah jika dianggap perlu.


Orde Baru: Ketika Pembangunan Mengalahkan Tradisi


Memasuki era Orde Baru, paradigma berubah: pembangunan besar-besaran menjadi prioritas utama. Indonesia membutuhkan tambang, bendungan, kawasan industri, dan perkebunan skala raksasa. Maka peta tanah Indonesia diperiksa ulang—dan banyak wilayah adat “diwarnai” sebagai tanah negara.


Konsekuensinya:


-  Tanah adat diambil untuk proyek tambang.


-  Lahan ulayat masuk dalam konsesi sawit.


-  Komunitas adat dipaksa pindah demi “pembangunan”.


Alasannya selalu sama: kepentingan umum. Namun di lapangan, “umum” sering berarti kepentingan segelintir.


Reformasi: Pengakuan Ada, Tapi Pertarungan Belum Usai


Reformasi 1998 memberi harapan. Putusan-putusan penting Mahkamah Konstitusi membuka ruang pengakuan:


-  Hutan adat bukan lagi hutan negara.


-  Masyarakat adat punya hak konstitusional.


Namun, persoalan tak selesai begitu saja. Peta “tanah negara” yang diwariskan sejak kolonial hingga Orde Baru sudah terlalu luas, menutupi hampir seluruh wilayah Nusantara. Di lapangan, konflik agraria terus terjadi.


Tak jarang masyarakat adat berkata:


 “Negara itu awalnya tamu. Lama-lama jadi tuan rumah. Kita yang punya rumah malah seperti diusir dari tanah sendiri.”


Dari Komunitas, ke Kolonial, Lalu ke Negara


Perjalanan tanah di Indonesia adalah kisah panjang tentang siapa tuan di rumah sendiri.


Dari tangan leluhur, ke tangan kolonial, lalu berpindah lagi ke tangan negara modern. Setiap era membawa konsep baru, logika baru, dan aturan baru—yang sering kali tidak bersumber dari akar budaya Nusantara sendiri.


Kini, pertanyaan besarnya adalah:


Apakah kita siap mengembalikan tanah sebagai ruang hidup, bukan hanya objek ekonomi?


Apakah negara bisa melihat masyarakat adat bukan sebagai hambatan pembangunan, tetapi sebagai penjaga pengetahuan ekologis yang teruji ratusan tahun?


Jawabannya menentukan masa depan Indonesia.


Karena tanah Nusantara bukan sekadar sumber daya, ia adalah identitas, sejarah, dan rumah dari perjalanan panjang bangsa ini.(Red)


_Penulis adalah pakar agraria adat atau sejarawan agraria dari Kabupaten Brebes_

Komentar

Tampilkan

  • Tanah Nusantara, Dari Leluhur Ke Negara
  • 0

Terkini