-->

Iklan

Benner Atas

Supremasi Sipil Terancam, Korupsi Mengintai: Kritik Pedas untuk Polisi Aktif di Birokrasi

Admin
Minggu, November 16, 2025 WIB Last Updated 2025-11-16T09:20:53Z


GEMBLOG, Jakarta - Polemik penempatan anggota Polri aktif pada jabatan sipil kembali menjadi perhatian serius. Dalam kajian hukum yang dimuat di laman resmi para pakar hukum administrasi negara dan hukum pidana, sejumlah ahli menegaskan bahwa praktik tersebut bukan hanya melanggar prinsip ketatanegaraan, tetapi juga berpotensi kuat menjadi tindak pidana korupsi apabila mengakibatkan penyalahgunaan wewenang serta kerugian negara.


Ahli Hukum Administrasi Negara, Dr. Rahman Latuconsina, menyebut bahwa larangan tersebut telah diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menegaskan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar struktur kepolisian apabila telah mengundurkan diri, diberhentikan, atau pensiun.


 “Ketika polisi aktif menjalankan jabatan sipil, seluruh tindakan administratifnya dilakukan tanpa kewenangan yang sah. Dalam hukum, itu sudah memenuhi unsur ‘perbuatan melawan hukum’,” tegas Rahman di Jakarta, Jumat (15/11).


Pakar menilai bahwa polisi aktif yang diberi posisi strategis pada sektor sipil berpotensi menciptakan konsentrasi kekuasaan yang tidak sehat. Kombinasi wewenang kepolisian dengan jabatan sipil dianggap membuka ruang besar bagi penyelewengan.


 “Ada potensi penyalahgunaan kewenangan dan konflik kepentingan. Polisi aktif bisa membawa instrumen koersif negara ke dalam birokrasi sipil, dan itu sangat berbahaya,” tambah Rahman.


Menurutnya, jika pejabat tersebut mengambil keputusan anggaran, menerima gaji ganda, atau menerbitkan kebijakan berdasarkan jabatan yang tidak sah, maka unsur tindak pidana korupsi—sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor bisa terpenuhi.


Selain aspek etik dan administrasi, para pakar menilai bahwa kerugian negara bisa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari:


- pembayaran gaji dan tunjangan yang tidak semestinya,


- kebijakan anggaran yang ditandatangani pejabat yang tidak berwenang,


- serta penggunaan fasilitas negara yang tidak sesuai aturan.


“Walau kerugian negara itu bersifat potensial, beberapa putusan pengadilan sudah mengakui bahwa potensi kerugian juga dapat menjadi dasar penetapan tindak pidana korupsi,” ujar pakar hukum pidana, Prof. Siti Wardina.


Fenomena ini juga dinilai bertentangan dengan prinsip supremasi sipil, sebagaimana ditegaskan dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi. MK mengingatkan bahwa anggota TNI/Polri aktif dilarang merangkap jabatan sipil demi menjaga netralitas aparatur negara dan mencegah state capture.


 “Konstitusi menghendaki pemisahan yang tegas. Aparat penegak hukum tidak boleh masuk ke jabatan sipil tanpa melepaskan status keanggotaannya. Bila tetap dipaksakan, ada konsekuensi hukum serius,” ujar Prof. Siti.


Para pakar mendorong pemerintah daerah dan kementerian-lembaga agar lebih cermat dalam melakukan pengangkatan pejabat. Selain berpotensi melanggar hukum administrasi, pejabat yang tidak memenuhi syarat dapat menyeret instansi dalam persoalan hukum pidana.


 “Jika ditemukan unsur kerugian negara dan penyalahgunaan wewenang, aparat penegak hukum wajib bertindak. Ini bukan sekadar pelanggaran etik; ini bisa masuk ranah tindak pidana korupsi,” pungkas Rahman. (Red)


#Sumber Berita: Dikutip dari beberapa laman media nasional 


Komentar

Tampilkan

  • Supremasi Sipil Terancam, Korupsi Mengintai: Kritik Pedas untuk Polisi Aktif di Birokrasi
  • 0

Terkini