-->

Iklan

Benner Atas

“FOMO Hukum” dan Relevansi Prinsip Blackstone dalam Sistem Peradilan Modern: Sebuah Kajian Kritis

Admin
Sabtu, November 15, 2025 WIB Last Updated 2025-11-15T11:36:00Z


Abstrak


GEMBLOG - Artikel ini mengkaji fenomena “FOMO hukum” (fear of missing out in law enforcement) sebagai bentuk tekanan psikologis dan institusional yang mendorong aparat penegak hukum bertindak tergesa-gesa demi menghindari kritik, kecolongan pelaku, atau kegagalan penanganan kasus. Fenomena ini diletakkan dalam bingkai prinsip klasik Blackstone Ratio: “Lebih baik membebaskan 1000 penjahat daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah.” Analisis dilakukan melalui pendekatan normatif-filosofis yang menekankan relasi antara asas praduga tak bersalah, due process of law, dan integritas sistem peradilan pidana. Hasil kajian menunjukkan bahwa FOMO hukum menjadi ancaman sistematis terhadap keadilan prosedural, memperbesar risiko salah tangkap, dan menurunkan legitimasi institusi penegak hukum. Artikel ini menyimpulkan perlunya reformasi kultural dan struktural agar penegakan hukum berorientasi pada akurasi dan keadilan, bukan kecepatan atau tekanan opini publik.


1. Pendahuluan


Dalam negara hukum, keberhasilan penegakan hukum tidak hanya diukur dari banyaknya kasus yang ditangani atau jumlah pelaku yang ditangkap, melainkan dari ketepatan dan keadilan dalam menentukan siapa yang benar-benar bersalah. Prinsip ini tercermin dalam adagium yang dikemukakan oleh William Blackstone:

“It is better that ten guilty persons escape than that one innocent suffer.”


Dalam konteks modern, prinsip ini sering dikembangkan menjadi formulasi hiperbolik:

 “Lebih baik membebaskan 1000 penjahat daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah.”


Prinsip ini semakin relevan ketika disandingkan dengan fenomena kontemporer yang berkembang di berbagai negara, termasuk Indonesia, yaitu “FOMO hukum”—kecemasan aparat untuk tidak ketinggalan dalam penindakan kasus. Fenomena ini berpotensi melahirkan praktik-praktik penegakan hukum yang melanggar asas keadilan.


2. Kerangka Teoretis

2.1 Blackstone Ratio dan Perlindungan Hak Individu

Blackstone Ratio berangkat dari asumsi dasar bahwa:

- kekuasaan negara berpotensi represif,

- kesalahan menghukum orang tak bersalah adalah dampak paling fatal dari proses hukum,

- dan sistem peradilan harus dibangun dengan kehati-hatian maksimal.

Prinsip ini menjadi pilar utama dalam doktrin due process of law dan asas presumption of innocence.


2.2 FOMO Hukum dalam Perspektif Sosiologi Penegakan Hukum

Istilah FOMO (fear of missing out) secara umum dikenal dalam psikologi modern. Ketika istilah ini diterapkan pada konteks hukum, ia menggambarkan perilaku aparat yang:

- takut dicap “tidak bekerja”,

- takut dikritik publik atau atasan,

- takut dianggap lengah sehingga pelaku lolos.

Fenomena ini sering muncul dalam kasus yang viral, kasus berisiko tinggi, atau kasus yang melibatkan tekanan politik.


2.3 Hubungan Keduanya

Secara teoretis, FOMO hukum berdiri berseberangan dengan Blackstone Ratio. Jika Blackstone Ratio berorientasi pada kebijaksanaan dan kehati-hatian, maka FOMO hukum mendorong kecepatan dan ketergesa-gesaan.


3. Analisis: Ancaman FOMO Hukum terhadap Sistem Peradilan

3.1 Risiko Salah Tangkap dan Salah Hukum

Praktik FOMO hukum berpotensi menghasilkan:

- penangkapan tanpa bukti memadai,

- kriminalisasi tindakan yang ambigu,

- bergesernya fokus dari kebenaran menjadi kepuasan publik.

Ketika aparat menindak karena takut disalahkan publik, prosedur hukum mudah diabaikan.


3.2 Erosi Asas Praduga Tak Bersalah

Tekanan publik sering membuat tersangka diperlakukan sebagai pelaku sebelum putusan inkrah. Trial by social media semakin memperparah hal ini. Aparat pun terdorong mengambil langkah cepat agar tidak disalahkan, meskipun bukti belum komprehensif.


3.3 Hilangnya Akuntabilitas Institusi Penegak Hukum

Fokus pada kecepatan menyebabkan:

- berkurangnya evaluasi,

- minimnya refleksi terhadap kesalahan penegakan hukum,

- dan hilangnya mekanisme check and balance.

Dalam jangka panjang, ini merusak legitimasi hukum dan kepercayaan masyarakat.


3.4 Perbandingan Internasional

Negara-negara dengan sistem peradilan maju (misal: Inggris, Jerman, Jepang) menekankan prosecutorial restraint, yaitu kewajiban menunda penindakan hingga bukti benar-benar kuat. Sebaliknya, negara berkembang lebih sering terjebak pada populist law enforcement.


4. Upaya Mengatasi FOMO Hukum

4.1 Reformasi Kultural

Aparat penegak hukum perlu membangun budaya profesional berbasis:

- kehati-hatian,

- objektivitas,

- independensi,

- dan integritas prosedural.


4.2 Penguatan Mekanisme Evaluasi

Kasus salah tangkap harus ditindaklanjuti dengan investigasi institusional, bukan sekadar permintaan maaf.


4.3 Penataan Komunikasi Publik

Institusi hukum perlu membangun standar komunikasi agar tidak terpancing tekanan opini publik.


4.4 Pendidikan Hukum Progresif

Kurikulum hukum perlu menekankan filsafat keadilan, bukan sekadar teknik penegakan hukum.


5. Kesimpulan

Fenomena “FOMO hukum” merupakan ancaman nyata bagi sistem peradilan pidana modern. Ketakutan aparat untuk dianggap gagal mendorong tindakan penegakan hukum yang tergesa-gesa dan berpotensi melanggar asas keadilan. Dalam konteks ini, prinsip Blackstone Ratio menjadi pengingat fundamental bahwa sistem hukum harus memprioritaskan perlindungan terhadap warga negara yang tidak bersalah.


Negara hukum akan dinilai kuat bukan dari seberapa banyak pelaku yang ditangkap, tetapi dari bagaimana ia mampu menjaga agar tidak satu pun orang tak bersalah menjadi korban proses hukum yang salah. (**)

Komentar

Tampilkan

  • “FOMO Hukum” dan Relevansi Prinsip Blackstone dalam Sistem Peradilan Modern: Sebuah Kajian Kritis
  • 0

Terkini